PERADABAN
ISLAM MASA DAULAH ABBASIYAH
PERIODE
AWAL (132-232 H / 750-847 M)
Oleh
: Fauzul Fil Amri
A.
PENDAHULUAN
Pergantian pemimpin di kalangan umat
Islam setelah khalifah Usman tidak terlepas dari pertikaian yang tajam hingga
melahirkan peperangan. Sepeninggal Ali berdirilah Bani Umayyah sebagai penguasa
kaum muslim. Dinasti ini hannya mampu bertahan 90 tahun, sejak tahun 661- 750
M.
Bani Umayyah digulingkan oleh Bani
Abbasiyah. Kejayaan Islam mencapai puncaknya pada dinasti ini berkuasa.
Sebagaimana yang dikutip oleh Ajid Thohir dari Syed Mahmudunnasr bahwa hasil
besar yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah dimungkinkan karena landasannnya
telah dipersiapkan oleh Umayyah dan Abbasiyah memanfaatkannya.[1]
Meskipun demikian menurut penulis keberhasilan Daulah Abbasiyah juga didukung
oleh kecermelangan dan kecerdasan khalifah Bani Abbasiyah itu sendiri.
Dinamakan daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah
keturunan Abbas (Bani Abbas), paman nabi Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini
adalah Abu Abbas as-Saffah.[2]
Dalam makalah ini penulis membahas
lebih lanjut kiprah dan peranan dari
Bani Abbasiyah periode pertama 132 H/ 750 M- 232 H/847 M dalam peradaban Islam.
B.
Latar
belakang berdirinya Daulat Bani Abbasiyah.
1.
Proses Pembentukan Dinasti Abbasiyah
Adapun sebab
dia yang disepakati pendiri dinasti Abbasiyah adalah di masanyalah tumbangnya
daulah Bani Umayyah. Juga dia sendirilah yang menyatakan tegaknya daulah Bani
Abbasiyah di atas reruntuhan daulah Bani Umayyah. Namun jauh sebelum Abu Abbas
sudah dikenal beberapa pelopor tegaknya Daulah Bani Abbasiyah yang dimulai dari
gerakan bawah tanah bani Hasyim dipimpin oleh Muhammad al Hanafiyah putra Ali
ibn Abi Thalib dengan putrid al Hanafiyah. Setelah Muhammad ibn Hanafiyah wafat
digantikan anaknya Abu Hasyim ibn Muhammad al Hanafiyah.
Sulaiman ibn
Abdul Malik (Bani Umaiyah) secara diam-diam ia diracuni melalui pelayan istana
Bani Umaiyyah sehingga Sulaiman sakit dan kemudian meninggal dunia.
Sebelum
meninggal Abu Hasyim memberikan pimpinan gerakan oposisi kepada Muhammad ibn
Ali ibn Abdullah ibn Abbas. Dengan demikian terjadilah perpindahan pemimpin
oposisi dari tangan Alawiyin (Syiah) kepada Bani Abbas. Pengangkatan Muhammad
ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas didasari atas pertimbangan moral dan keluesan hati
orang alawiyin (Syiah) terhadap Bani Abbas.[3] Di tangan Muhammad ibn Ali dicanangkan propaganda yang meliputi
tiga hal, yaitu : 1) Emamsipasi hak, maksudnya adalah persamaan hak antara
keturunan Arab (secara umum) dengan non Arab (Mawali), 2) Rekonsoliasi,
maksudnya adalah suatu perdamaian antara non Arab (Mawali) dengan bangsa Arab,
3) Pengembalian kekuasaan kepada ahlul bait. Dengan ketiga propaganda ini,
gerakan oposisi mendapat dukungan penuh dari Mawali, sehingga oposisi menjadi
kuat.
Setelah
Muhammad ibn Ali wafat, ia digantikan oleh adiknya Ibrahim Ibn Muhammad. Ia
membelokkan gerkan Bani Hasyim menjadi gerakan Bani Abbas secara diam-diam.
Ia menyusun kekuatan di Humaymah sebagai pusat
perencanaan dan organisasi. Ibrahim akhirnya ditangkap dan dipenjarakan di
Harran sebelum dieksekusi, Ia mewasiatkan kepada adiknya Abu al-Abbas untuk
menggantikan kedudukannya dan memerintahkannya untuk pindah ke kufah.[4]
Dibawah
panglima perangnya yang bernama Abu Muslim al-Khurasani, Abu Abbas berhasil
menguasai kota khurasan dan menyusul kemenangan demi kemenangan. Akhirnya
negeri Syam sebagai ibu kota Bani Umayyah dapat ditaklukkan. Sejak tahun 132 H/
750 M Daulah Abbasiyah dinyatakan berdiri dengan khalifah pertamanya Abu Abbas
as-Asaffah.[5]
Walaupun Abu
Abbas pendiri daulah ini, pemerintahannya singkat (750-754 M). Pembina
sebenarnya daulah ini adalah Abu Ja’far al-Mansur. Untuk mengamankan
kekuasaanya, tokoh besar sezamannya yang mungkin menjadi pesaingnya satu
persatu disingkirkannya.[6]
Abdullah ibn ali, Salih ibn Ali (pamannya) dan Abu Muslim al-Khurasani adalah
tokoh-tokoh penting, mereka tidak dibiarkan hidup. Dari tindakannya
menyingkirkan pejabat-pejabat penting yang berjasa dapat dimaklumi bahwa Abu
Ja’far tidak menginginkan ada ganjalan dan rongrongan di awal pemerintahannya.
Pemerintahan
yang baru berdiri di atas rezim lama harus kompak dan solid. Bila ada
gerakan-gerakan yang bersebrangan harus segera ditindas sebelum menjadi besar.
Bahkan tampak sekali ketakutan Ja’far akan hilangnya pengaruhnya, kalau di
sekelilingnya terdapat pejabat yang berpengaruh seperti Abu Muslim
al-Khurasani. Tokoh satu ini di samping panglima perang yang tangguh juga
memiliki tentara yang loyal padanya.
Ditinjau dari proses pembentukannya, sebagaimana yang dikutip oleh
Ajid Thohir dari Philip K. Hitti, bahwa Dinasti Abbasiyah didirikan atas
dasar-dasar antara lain:
1)
Dasar
kesatuan untuk menghadapi perpecahan yang timbul dari dinasti sebelumnya
2)
Dasar
universal, tidak berlandaskan atas kesukuan;
3)
Dasar
politik dan administrasi menyeluruh, tidak diangkat atas dasar keningratan.
4)
Dasar
kesamaan hubungan dalam hukum bagi
setiap masyarakat Islam;
5)
Pemerintah
bersifat Muslim moderat, Ras Arab hannyalah dipandang sebagai salah satu bagian
di antara ras-ras lain;
6)
Hak
memerintah sebagai ahli waris nabi masih tetap di tangan mereka.[7]
2.
Khalifah Bani Abbasiyah periode pertama 132 H-232 H/ 750-847 M
Daulah Abbasiyah berlangsung
dalam waktu yang panjang. Yakni dari 132 – 656 H (524 H) atau 750 – 1258 (508
M), yang dibagi menjadi 5 periode :
1.
Periode
Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama
2.
Periode
Kedua (232H/847M – 334H/945M), disebut pengaruh Turki pertama
3.
Periode
Ketiga (334H/945M – 447H/1055M), disebut masa kekuasaan Bani Buwaihi
4.
Periode
Keempat (447H/1055M – 590H/1194M) disebut masa kekuasaan dinasti Seljuk
5.
Periode
kelima (590H/1194M – 656H/1258M), disebut masa kekhalifahan bebas dari pengaruh
dinasti.[8]
Adapun
khalifah Bani Abbasiyah pada periode pertama adalah:
a)
Abu
Abbas as-Saffah ( 132-137 H/ 750- 754 M
b)
Abu
Ja’far al-Mansur 137-159 H/ 754-775 M
c)
Al-Mahdi 159-169 H/ 775-785 M
d)
Al-Hadi 169-170
H/ 785-786 M
e)
Harun
al –Rasyid 170-194 H/ 786-809 M
f)
Al-Amin 194-198 H/ 809-813 M
g)
Al-Ma’mun 198-218
H/ 813-833 M
h)
Al-Mu’tasim 218-228
H/ 833-842 M
i)
Al-Wasiq 228-232
H/ 842-847 M[9]
C.
Kemajuan-Kemajuan
Peradaban Islam Masa Daulah Bani Abbasiyah Periode Pertama 132 -232 H/ 750- 847
M
1.
Bidang politik dan pemerintahan
Pada periode
pertama, mencapai mas keemasannya, secara politis khalifah betul-betul tokoh
yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Masa
pemerintahan Abu al Abbas sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Kemudian
dilanjutkan oleh Abu Ja’far al Manshur.
Untuk mengamankan
kekuasaannya, tokoh-tokoh pemberontak ditumpasnya, seperti Abdullah ibn Ali dan
Shalih ibn Ali keduanya adalah pamannya sendiri, keduanya dibunuh oleh Abu
Muslim al Khurasani atas permintaan Abu Ja’far, Abu Muslim al khurasani pun dihukum
mati karena dikhawatirkan akan menjadi pesaingnya. Untuk lebih memantapkan
pemerintahannya, Ia memindahkan ibu kota Negara dari al Hasyimiyah dekat kufah
ke Bagdad dekat ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M.
Dia mengankat
wazir sebagai coordinator departemen, wazir pertama yang diangkat adalah Khalid
ibn Barmk dari Balkh Persia. Dia juga membentuk lembaga protocol Negara,
sekretaris Negara, dan kepolisian disamping membenahi angkatan bersenjata, juga
membentuk lembaga kehakiman Negara dan menambah peranan jawatan pos, disamping
mengantar surat, jawatan pos juga menghimpun informasi di daerah dan melporkan
tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Pada masa Al
Manshur, pengertian khlaifah diubah, Ia berkata “Innama ana sulthan Allah fi
ardhi” (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di Bumi-Nya). Disamping itu
mereka juga memakai “gelar tahta”.[10]
2.
Bidang Ekonomi dan perdagangan
Pada masa al-Mahdi perekonomian
mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian, melalui irigasi.
Daerah-daerah pertanian diperluas di segenap wilayah Negara, Bendungan dan
kanal-kanl digali agar semua lahan pertanian bisa dilairi air, dan peningkatan
hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, dan besi. Juga perdagangan
transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Basrhrah menjadi
pelabuhan yang penting.[11]
Kota Basrah merupakan kota pelabuhan yang ramai disinggahi oleh kapal-kapal
dagang dari timur dan barat. Kota pelabuhan ini membawa kemajuan bagi
perdagangan yang memperoleh penghasilan besar. Dalam bidang perindustrian, Bani
Abbas telah membangun pabrik sabun di Basrah, Bagdad dan Samarra. Di samping
itu dibangun pabrik kertas, sutra dan sebagainya. Kemudian dibuka pertambangan,
seperti perak, emas, tembaga, besi dan sebagainya.[12]
Devisa Negara penuh
berlimpah-limpah. Khalifah al-Mansur merupakan tokoh ekonomi Abbasiyah yang
telah mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan
Negara.
Di sektor perdagangan, kota Bagdad
di samping sebagai kota politik, agama dan kebudayaan, juga merupakan kota
perdagangan yang terbesar di dunia saat itu. Sedangkan kota Damaskus merupakan kota ke dua. Sungai
Tigris dan Efrat mejadi pelabuhan trasmisi bagi kapal-kapal dagang dari
berbagai penjuru dunia. Terjadinya kontak perdagangan internasional ini
semenjak khalifah al-Mansur. [13]Pada
masa Khalifah Harun ar-Rasyid kekayaan Negara telah melimpah ruah. Pada masa
ini kekayaan Negara sekitar 42 milyar dinar. Ini belum termasuk uang yang
berasal dari pajak hasil bumi. Jumlah di atas merupakan hal yang luar biasa
pada masa itu. Pengeluaran uang Negara digunakan untuk kemaslahatan Negara,
seperti untuk kepentingan sosial, membayar gaji para hakim, gaji para pejabat
pemerintah, gaji pegawai Baitul Mal, gaji tentara, mendirikan rumah sakit,
biaya pendidikan, gaji dokter dan apoteker serta pendirian pemandian-pemadian
umum.[14]
Selain itu juga dikeluarkan untuk membiayai pengerukan sungai-sungai, pembuatan
irigasi, pengolahan lahan pertanian, biaya orang tahanan dan tawanan serta
honor para ulama dan satrawan.
3.
Bidang sosial
Bani Abbasiyah mempelopori penghapusan diskriminatif masyarakat,
yang membedakan antara Arab dan Non Arab. Masa Bani Umayyah akses bagi Non Arab
dalam pemerintahan tidak pernah tercapai. Daulah Bani Abbasiyah malah memberi
peluang kepada non Arab untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan. Pada
periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah membuka pintu bagi bangsa Persia untuk duduk dalam pemerintahan.
Karenanya periode awal Abbasiyah ini
dikenal dengan periode pengaruh Persia
pertama.[15]
Kebijakan dalam sosial ini adalah salah satu kelebihan Bani Abbasiyah dari pada
Bani Umayyah. Di masa Bani Umayyah, sebagian besar golongan Mawali ( non Arab), terutama di Irak dan
wilayah bagian Timur lainnya, merasa tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan suatu
inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada
masa itu.[16]
4.
Bidang pendidikan / Ilmu
pengetahuan
Ilmu pengetahuan sangat berkembang pada masa Bani Abbas. Ada dua
kelompok ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa Bani Abbas, yaitu ilmu
Naqliah dan ilmu aqliyah.[17]
Di antara ilmu-ilmu naqliyah yang maju perkembangannya pada masa ini adalah
sebagai berikut:
a)
Ilmu Tafsir
Pada
masa ini muncul dua aliran dalam ilmu tafsir, yaitu aliran Tafsir bil Ma’tsur dan Tafsir
bir Ra’yi. Aliran pertama lebih menekankan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
dengan hadits dan pendapat tokoh-tokoh sahabat. Diantara tafsir bil ma’sur yang
pada waktu itu adalah :
1)
Tafsir
al- Thobary oleh Ibn Jarir al-Thobary
2)
Tafsir
Ibn Athiyah al-Andalusi oleh Abu Muhammad ibn Athiyah
3)
Tafsir
al-Sud yang mendasarkan tafsirnya pada Ibn Abbas dan Ibn Mas’ud.
Sedangkan aliran tafsir yang ke dua
lebih banyak berpijak pada logika (rasio) dari pada nash.[18]
Diantara tafsir birra’yi yang ada pada masa itu adalah:
1)
Tafsir
Abu Bakar Asma (Mu’tazilah)
2)
Tafsir
ar-Razi
Dengan demikian dapat dipahami bahwa
perkembangan ilmu tafsir sampai saat ini
tidak lepas dari ke dua aliran ini.
b)
Ilmu Hadits
Pada masa ini muncul ulama-ulama
hadits yang belum ada tandingannya
sampai zaman sekarang. Di antara yang terkenal ialah Imam Bukhari (w. 256).
Imam Muslim (w. 251 H) terkenal sebagai seorang ulama hadits dengan bukunya Shahih Muslim.[19]
c)
Ilmu Fiqh
Pada masa ini lahir fuqaha legendaris yang kita kenal, seperti Imam
Abu Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Syafei (767- 820 M) dan
Imam Ahmad Ibnu Hambal ( 780-855).[20]
d)
Ilmu Kalam
Pada periode pertama Abbasiyah ini terjadi pembauran umat muslim Arab dengan bangsa –bangsa yang telah
tinggi peradabannya., seperti di Iskandariyah Mesir, di Yundisafur dan
sebagainya. Oleh karena itu, ulama-ulama dituntut agar dapat memberi keterangan
dan penafsiran agama yang sesuai dengan tingkat kecerdasan dan peradaban
bangsa-bangsa tersebut. Lahirlah beberapa ulama dari golongan Mu’tazilah, yang lebih meninggikan akal
(rasio), seperti Washil bin Atha’ (81-131 H), Abu Huzhail (135-235 H) dan
al-Nazham ( 185-221 H).[21]
Kontribusi ilmu pengetahuan terlihat pada upaya Harun ar-Rasyid dan
al-Makmun ketika mendirikan sebuah akademi pertama dilengkapi pusat
peneropongan bintang, perpustakaan terbesar dan dilengkapi dengan lembaga untuk
penerjemahan.[22]
Kita mengenal Baitul Hikmah sebuah tempat kajian ilmu pengetahuan. Bani
Abbasiyah periode awal ini memiliki andil yang besar dalam peradaban Islam dan
dunia umumnya. Karena banyak perobahan dan kemajuan yang dicapainya. Sebelum
dinasti Abbasiyah, pusat kegiatan Dunia Islam bermuara pada masjid. Masjid
dijadikan centre of education. Pada
dinasti Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan tekhnologi
diarahkan ke ma’had. Lembaga ini kita
kenal ada dua tingkatanoyaitu:
1)
Maktab
/kutab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal
dasar-dasar bacaan, menghitung dan menulis serta anak remaja belajar
dasar-dasar ilmu agama
2)
Tingkat
pedalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi ke luar daerah
atau ke masjid-masjid bahkan ke rumah-rumah gurunya.[23]
Dengan dua model dua di atas system pendidikan
di masa Bani Abbasiyah periode pertama telah melahirkan ulama di kalangan ilmu
Hadits, Fiqh dan ilmu kalam. Ulama yang dilahirkan tersebut sampai saat ini
menjadi hujjah bagi seluruh umat muslim, seperti imam mazhab yang empat serta
Ahli hadits Bukhari dan Muslim.
Sementara dalam
ilmu Aqliyah dapat kita lihat dalam kemajuan ilmu tekhnologi (sains) .
Sesungguhnya kemajuan telah direkayasa oleh ilmuwan Muslim. Di antara Kemajuan
tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Astronomi,
ilmu ini melalui karya India Sindhind kemudian diterjemahkan oleh Muhammad Ibnu Ibrahim al-Farazi ia adalah astronom Muslim pertama yang membuat astrolabe, yaitu alat
untuk mengukur ketinggian bintang. Di samping itu, masih ada ilmuwan-ilmuwan
Islam lainnya, seperti Ali Ibnu Isa al- Asturlabi, al- Farghani, al-Battani,
Umar al- Khayyam dan al- Tusi.[24]
2)
Kedokteran,
pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah Ali Ibnu Rabban al-Tabari.
Pada tahun 850 ia mengarang buku Fidaus
al-Hikmah. Tokoh lainnya adalah al-Razi, al-Farabi dan Ibnu Sina.[25]
3)
Ilmu
kimia. Bapak ilmu kimia Islam adalah Jabir Ibnu Hayyan (721-815 M).[26]
4)
Sejarah
dan geografi. Pada masa Abbasiyah sejarawan ternama abad ke-3 H adalah Ahmad
bin al-Yakubi, Abu Ja’far Muhammad bin Jafar bin Jarir al-Tabari. Kemudian,
ahli ilmu bumi yang termasyhur adalah ibnu Khurdazabah (820-913 M).
e)
Filsafat
Khalifah Harun al-Rasyid dan al-Makmun
adalah khalifah-khalifah Bani Abbasiyah yang amat tertarik dengan
filsafat, terutama filsafat Aristoteles
dan Plato. Oleh karena itu, tidaklah terlalu mengherankan apabila pada masa
pemerintahan Daulah Abbasiyah muncul beberapa orang filosuf Islam. Di antaranya
adalah Al-Kindi (796 -873 M.
f)
Pemahaman Agama
Periode pertama Abbasiyah ini terlihat para khalifahnya condong pada
paham mu’tazilah. Sehingga pada masa Khalifah Al-Makmun, mu’tazilah diakui
sebagai mazhab resmi pemerintah.[27]
Namun Syi’ah. Khawarij dan Murji’ah masih tetap ada tetapi tidak kuat lagi.
g)
Seni/Arsitektur
Di antara
khalifah Bani Abbasiyah yang mencintai kesenian adalah Harun ar-Rasyid. Beliau
menyukai syair-syair. Di antara penyair di masa ini yang terkenal adalah Abu
Nawas, yang pada dasarnya seorang ahli hikmah.[28]
Khalifah
–khalifah Bani Abbasiyah juga menyukai seni arsitektur. Dengan kemenangan demi
kemenangan yang dicapai khalifah sebelum ar-Rasyid dan al-Makmun , sehingga
makmurlah Negara serta stabilitas politik yang stabil. Khalifah Harun dan para
pembesar Negara menimati kemewahan itu dengan hidup di istana-istana yang
indah, seperti istana al-Khuld yang
diambil dari nama Jamalul Khuld yang
diterangkan dalam al-Quran surat al-Furqan: 15. Istana as-Salam yang diambil
dari ayat-ayat al-Qur’an surat al-An’am: 127, yakni Darussalam.[29]
Dengan nama-nama itu mereka ingin mewujudkan surga di bumi ini. Memang
demikianlah sifat penguasa jika kekayaan Negara melimpah dan stabilitas politik
aman, hasrat untuk hidup bersenang-senang akan timbul dengan sendirinya. Hal
ini kadangkala membuat penguasa melupakan memperkuat sistem
militernya.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Dinamakan
daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan
Abbas (Bani Abbas), paman nabi Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abu
Abbas as-Saffah
2.
Abbasiyah
periode awal ini berkuasa dari tahun 132 H/ 750 M- 232 H/847 M
3.
Khalifah
Abbasiyah periode pertama adalah
a)
Abu
Abbas as-Saffah 132-137 H/ 750-
754 M
b)
Abu
Ja’far al-Mansur 137-159 H/
754-775 M
c)
Al-Mahdi 159-169 H/ 775-785 M
d)
Al-Hadi 169-170 H/
785-786 M
e)
Harun
ar –Rasyid 170-194 H/ 786-809 M
f)
Al-Amin 194-198 H/
809-813 M
g)
Al-Ma’mun 198-218 H/ 813-833
M
h)
Al-Mu’tasim 218-228 H/ 833-842 M
i)
Al-Wasiq 228-232 H/ 842-847 M
4.
Kemajuan-kemajuan
yang dicapai pada masa Dinasti Abbasiyah. Kemajuan
meliputi berbagai bidang, seperti politik dan pemerintahan, ekonomi
perdagangan, pendidikan, sosial dan
keagamamaan.
B.
Saran
Dalam membuat makalah ini penulis menyadari
terdapat banyak kekurangan, oleh sebab itu saran dan masukan dari pembaca
sangat penulis harapkan sebagai pertimbangan dan wawasan untuk pembuatan
makalah pada masa yang akan datang.
[1]
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di
Kawasan Dunia Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), h.44.
[2]
Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Intermasa, 1994), h.4
[3]
Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam II, (Padang : IAIN IB
Pres, 2002), h.2-4
[4]
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan kebudayaan
Arab, (Jakarta: Logos, 1997), h.88
[5]
Ensiklopedi Islam, op.cit, h.4
[6]
Ibid., h.5
[8]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2010), h.50
[10]
Badri Yatim, h.52
[11]
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,
( Jakarta: PT Raja Grafindo, 1993),
h. 52
[12]
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI- Press, 1985), h. 68
[14]
Maidir Harun, Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang:
IAIN-IB Press, 2002), h.17
[16]
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam; Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta:
Tiara Wanaca Yogya, 1990), h.28
[18]
Ibid., 20
[19]
Ibid.,21
[23]
Hassan Ibrahim Hassan, Tarekh Al-Islam II,
(Kairo: Maktabah al-Nahdhoh al-Misriyah, 1965), h. 129
[25]
A. Raziq Naufal, Umat Islam dan Sains
Modern, ( Bandung: Husaini,1978), h. 47
[26] Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: UI Press, 1985), h.62
[27]
Maidir Harun, Firdaus, loc.cit., 22
[29]
Ali Mufrodi, op.cit,
h. 94