Selasa, 13 Desember 2016

dilalah alfaz dalam mu'jam



DILALAH al-ALFAZ FI al MU’JAM al-‘ARABI
Oleh : Fauzul Fil Amri
A.       Pendahuluan
Setiap bahasa yang dilafalkan oleh seseorang pasti memiliki makna tertentu sesuai dengan maksud si penuturnya.  Perobahan makna dari suatu lafaz tersebut dipengaruhi oleh berbagai sebab, namun yang menjadi pokok permasalahan disini adalah makna aslinya, makna asli yang terdapat dalam kamus atau mu’jam bahasa arab, sebab secara fungsinya kamus menjadi sarana atau alat bagi seseorang untuk mengetahui makna, akan tetapi kamus sendiri tidak bisa memberikan makna yang pasti terhadap suatu kata, karena bisa jadi di dalam kamus maknanya berbeda dengan apa yang terjadi dalam kenyataan.
Berdasarkan hal di atas, penulis ingin mengkaji “makna (dilalah) kata dalam mu’jam (kamus). Pertama yang akan di kaji adalah pengertian dilalah al-faz, hubungan lafaz dengan makna, kemudian, perkembangan mu’jam arab, jenis-jenisnya serta cara mengungkap makna suatu kata dalam mu’jam arabi.
B.        Pengertian Dilalah al-Faz
Setiap kata dalam sebuah bahasa memiliki dalalah mu’jamiyah (الألفاظ)  atau ijtima’iyah, yang berdiri sendiri dan merupakan dalalah tambahan bagi dalalah asasiyah (dalalah sautiyah dan sorfiyah) yang dimiliki oleh kata itu. Dalalah tambahan ini dinamakan dalalah ijtima’iyah seperti kata-kata كذاب menunjukkan kepada seseorang yang memiliki sifat pendusta, inilah yang dinamakan dengan dalalah ijtima’iyah.
Seorang pendengar dapat memahami sebuah ungkapan dengan benar jika ia telah menguasai semua jenis dalalah di atas ia tidak perlu memahami undang-undang nahu saraf dalam bentuknya yang rumit seperti yang terdapat pada karangan pakar-pakar nahu terdahulu, akan tetapi ia cukup mengetahui semua ilmu itu melalui mendengar dan mengucapkan (talakhi dan musafaha) usaha ini membutuhkan waktu yang panjang sebelum seseorang benar-benar menguasai bahasa sehingga menjadi kebiasaan (adat dalam berbicara) tanpa perlu mendalami spesifikasi bahasa itu seperti yang dilakukan oleh pakar nahu saraf yang terdahulu.
Dilalah sautiyah, sorfiyah, dan nahwiyah akan dapat menjadi sebuah kebiasaan setelah melakukan latihan yang cukup sehingga ia dapat digunakan sebagai sarana untuk memahami sebuah ungkapan tanpa memerlukan usaha yang besar. Tahapan inilah yang dikenal oleh pakar linguistik dengan istilah saliqah lughawiyah.[1]
C.        Hubungan Antara Lafaz Dan Dalalah (الصلة بين اللفظ والدلالة)
Bahasa terdiri dari dua unsur penting yaitu lafal dan makna. Lafal adalah wadah dari makna, karena itulah, lafal yang baik adalah lafal yang digunakan untuk makna yang sesuai dan tepat. Bahasa Arab sebagai suatu bahasa juga terdiri dari lafal dan makna, dan orang arab sangatlah teliti dalam memilih lafal untuk suatu makna.
1.      Pandangan Filosof Yunani
Para filosuf Yunani terkenal dengan pemikiran dan daya nalarnya yang tajam serta mendalam melakukan kajian tentang bahasa, yaitu apakah ada hubungan yang erat antara lafal dan makna.[2] Mereka merasa kagum dan heran dengan bunyi-bunyi yang diucapkan seseorang. Bunyi-bunyi itu dikeluarkan dari kerongkongan seseorang dan dijadikan sarana menyampaikan maksudnya dalam interaksi kehidupan bermasyarakat untuk saling tolong menolong serta memahami satu sama lain.
Kajian tentang lafaz dan makna dapat ditelusuri dengan memahami gagasan Plato, Aristoteles, Reisig, dan Breal yang selanjutnya dikembangkan oleh D Saussure, Ogden, Bloomfield, Hocket, Pateda dan linguis-linguis kontemporer lainnya.
Plato (yang hidup pada 429-347 SM) sudah menyinggung makna bahasa dalam Cratylus. Plato menjelaskan bahwa bunyi bahasa mengandung makna tertentu. Aristoteles (384-322) juga membahas makna satuan bahasa yang terkecil yang bermakna. Lebih jauh lagi, Aristoteles menjelaskan bahwa makna kata itu dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a)      Makna yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom (bersifat inheren).
b)      Makna yang timbul karena proses gramatika. Abdul Chaer menilai makna yang pertama itu adalah sama dengan makna leksikal dan makna yang kedua adalah sama dengan makna gramatikal.
Lalu muncul perbedaan pandangan di antara para linguis berkisar pada hubungan lambang dan yang dilambanginya. Plato, dalam hal ini berpendapat bahwa ada hubungan yang sistematis antara lambang bahasa dengan sesuatu yang dilambanginya. Sebaliknya, Aristoteles berpendapat bahwa tidak ada hubungan yang sistematis antara lambang bahasa dengan sesuatu yang dilambanginya.[3]
Pendapat Plato yang menyatakan bahwa ada hubungan antara lambang dengan yang dilambanginya didukung data bahasa yang berupa kata-kata yang bersifat anomatope, yaitu kata-kata yang hampir sama dengan sesuatu yang dilambanginya. Contoh, bunyi binatang kecil pemakan serangga yang merayap di dinding adalah cek…cek…cek… lalu binatang itu diberi nama cecak atau cicak. Contoh lain binatang reptil yang yang hidup di batang kayu yang bersuara tokek..tokek…tokek diberi nama tokek. Berdasarkan dua contoh ini kita memahami bahwa memang terdapat kemiripan antara lambang bahasa dengan sesuatu yang dilambanginya.
Setelah banyak melakukan penelitian dan diskusi-diskusi akhirnya mereka sampai pada kesimpulan bahwa antara lafal dan makna terdapat hubungan yang sangat erat sebagaimana hubungan api dengan membakar. Kuatnya hubungan lafaz dengan makna tergambar dalam tulisan Idris Maimun, seorang guru besar ilmu bahasa Arab di Jamiah al-Sulthan Maulaya Sulaiman, bahwa hubungan antara lafaz dan makna adalah seperti hubungan jasad dengan ruh.[4]
Hal ini mengarahkan kepada pemahaman bahwa hubungan antara lafal dan makna memberikan solusi untuk mendapatkan pemahaman atas sesuatu. Dengan demikian lafaz dan makna itu mempunyai ikatan yang kuat, makna tidak terwujud tanpa adanya lafaz, sesuatu bentuk dalam pikiran (idea) tidak terbentuk kecuali ketika dilafazkan dengan lafal-lafal tertentu. Berdasarkan ini para pemikir Yunani menamakan hubungan ini dengan “al-shilah al-Tabi’iyyah atau al-shilah al-zatiyah
Diantara para pemikir atau filosof Yunani yang berpendapat dengan pendapat ini adalah Plato, Socrates dan Aristoteles. Plato cenderung pada hubungan yang disebut dengan al-‘alaqah al-thabi’iyyah al-zatiyyah.[5] Socrates menyimpulkan bahwa antara lafaz dan makna mempunyai ikatan yang alamiah-subektiv, yaitu adanya hubungan yang kuat antara lafaz dan makna. Makna tidak akan ada tanpa ada lafaz, karena makna hanya akan terbentuk ketika dilafazkan dengan lafaz-lafaz tertentu.
2.      Pandangan Ulama Arab
Pemikiran yang dipopulerkan oleh linguis Yunani ini juga diikuti oleh Linguis Arab, yaitu ‘Ubbad ibn al-Shaimariy, seorang linguis yang beraliran Mu’tazilah. Dia berpendapat bahwa hubungan antara lafal dan makna merupakan sesuatu yang natural dan bukan merupakan sesuatu yang ditetapkan.[6] Namun sebagian besar linguis Arab tidak sepenuhnya berpegang pada pendapat yang diadopsi oleh al-Shaimariy dari linguis Yunani. Pembicaraan tentang hubungan antara lafal dan makna banyak dikaji dalam tulisan dan karya mereka. Mereka mencoba mengaitkan antara lafaz dan maknanya dengan hubungan yang kuat, namun tidak sampai pada tataran al-shilah al-thabi’iyyah atau al-dzatiyah.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa para linguis Arab ini mengatakan bahwa antara lafaz dan makna memiliki keterkaitan atau hubungan yang kuat, tetapi bukan seperti yang digambarkan dalam arti hubungan thabi’iyyah. Sedang hubungan yang dimaksud mereka itu adalah hubungan biasa (bersifat sementara) antara lafaz dengan makna.
Keberagaman pendapat para linguis sekitar lafaz dan makna selanjutnya disikapi oleh al-Suyuthi, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Muhammad Qadur, dengan membagi pendapat para linguis kepada empat bagian:[7]
a.    Makna dari lafaz melihat kepada zatnya, atau di antara keduanya memiliki hubungan yang alamiah. Pendapat ini didukung oleh ‘Ubbad ibn al-Shaimariy.
b.   Segala sesuatu yang menyangkut dengan makna kata telah ditentukan oleh Allah. Pendapat ini dipegang oleh sebagian besar muslim.
c.    Makna segala sesuatu tergantung kepada manusia itu sendiri. Pendapat ini dipegang oleh kelompok Mu’tazilin.
d.   Pendapat terakhir menyatakan bahwa sebagian ditentukan Allah dan sebagian lagi atas prakarsa manusia.
3.      Pandangan kalangan modernis
Jaspersen sebagai salah seorang dari kalangan modernis berpendapat bahwa adanya kesesuaian antara kata (lafaz) dan maknanya, berbeda dengan De Saussure yang berpendapat bahwa hubungan kata dan makna adalah arbitrer (tidak terikat dengan system yang berlaku). Menurut De Saussure, kalaupun ada onomatope (kata yang menirukan bunyi tertentu), itu hanya sedikit contohnya dalam bahasa-bahasa di dunia.

D.       Mengungkap Makna Lafaz Dalam Mu’jam[8]
Masing-masing  kamus mempunyai metode yang berbeda-beda dalam penyusunan dan urutan bab-babnya. Ada beberapa hal yang umum yang mesti di perhatikan ketika mengungkap makna kata di dalam kamus :
a.       Kata asal yang bisa kita cari secara langsung contohnya : قرأ، كتب، درس
b.      Kata tambahan dikembalikan kedalam bentuk asalnya contohnya kata :إستعجم  kita kembalikan kedalam bentuk asalnya dengan memisahkannya dengan huruf-huruf tambahan ( alif sin dan ta ), maka tinggal huruf aslinya yaitu kata : عجم
c.       Kata jamak dikembalikan kedalam bentuk mufradnya contoh :متعلمين  diubah menjadi kedalam bentuk mufradnyaمتعلم  , kemudian dipisahkan dari huruf tambahannya maka ia menjadi (علم )
d.      Fi’il mudhari’ dan fi’il amar dikembalikan kedalam bentuk fi’il madhinya, apabila pada fi’il madhi tersebut ada huruf tambahan dikemabalikan kedalam bentuk asal kata contoh : يكتبون diubah menjadi kata :كتبوا kemudian dibuang huruf tambahannya menjadi : كتب
e.       Kata yang terdapat padanya huruf yang tidak asli dikembalikan ke huruf asli, contoh :  سماhuruf alif disana adalah ganti dari huruf waw, maka ketika dikembalikan kedalam huruf asli ia menjadi : سمو
f.       Kata-kata yang bertasydid dipisahkan dari tasydidnya contoh kata :مدّ  ketika dipisahkan maka ia menjadi مدد
E.        Macam-macam kamus bahasa[9]
a)      Ditampilkan lafaznya kemudian dijelaskan madlulnya dan hal-hal yang berkaitan dengannya, dia mempunyai metode khusus dalam mengurutkan lafaz-lafaz. Mu’jam jenis ini disebukan dengan mu’jam alfaz. Diantara mu’jam jenis ini adalah mu’jam al-‘Ain karangan al-Farahidi, Mu’jam ash-Shihhah karangan Jauhari, Lisan al-‘Arab karangan Ibnu Manzur, dan Asasul Balaghah karangan Zamakhsyari.
b)      Mengumpulkan lafaz-lafaz yang mempunyai topik yang sama  atau seputar makna yang sama, mu’jam jenis ini disebut dengan mu’jam ma’ani atau mu’jam maudhu’I (tematik). Contohnya adalah: kitab Fiqh Lughah karangan al-Tsa’alibiy, dan al-Mukhasshis karangan Ibnu Sidah,
F.        Perkembangan Mu’jam Arab
Ada lima fase perkembangan mu’jam arabi:[10]
1)      Fase نظام صوتى و نظام تقليبات (struktur bunyi)
2)      Fase نظام الفبائى الخاص (struktur alfabetis khusus)
3)      Fase نظام القافية (struktur sajak)
4)      Fase نظام الفبائى العادي (struktur alfabetis biasa)
5)      Fase نظام الفبائى النطقي  (struktur alfabetis ucap)
a)      Fase نظام صوتى و نظام تقليبات
Orang pertama yang membuat Mu’jam dengan struktur (نظام) ini adalah Khalil  Bin Ahmad Al-Farahidi (w. 175 H), dengan mu’jamnya yaitu mu’jam al-‘ain. Dia menyusun kata-kata dalam mu’jamnya sesuai dengan makharijul huruf dengan tetap memperhatikan asal suatu kata. Contohnya kata “عقدdalam bab العين dan kata “ خلف” dalam bab الخاء, dan seterusnya.
Khalil bin Ahmad al-Farahidi tidak mengurutkan bab dalam kitabnya sesuai dengan urutan alfabetis yang kita kenal sekarang, seperti : أ، ب، ت، ث، ج........ إلخ , akan tetapi ia menyusun sesuai dengan makharijul huruf, dia memulai dengan huruf أقصى الحلق sampai ke huruf-huruf شفتين  , kemudian ia menutup kitabnya dengan huruf-huruf علة.
Adapun susunan mu’jamnya seperti dibawah ini:
a.       Huruf-huruf halqiyah ( ع، ح، هـ، خ، غ),
b.      Huruf-huruf lahwiyah ( ق، ك ),
c.       Huruf-huruf Syajariyah ( ج، ش، ض ).
d.      Huruf-huruf Nath’iyyah ( ط، د، ت),
e.       Huruf-huruf Lutsuwiyah ( ظ، ذ، ث ),
f.       Huruf-huruf dzalaqiyyah ( ر، ل، ن، ف، ب،م )
g.      Huruf-huruf hawa’iyah ( و، أ، ي ).
Berdasarkan urutan huruf-huruf di atas, maka kata “ عقل” terletak di bab ‘ain sebelum kata “ عقف”, dan kata “ عقف” sebelum kata “ عقب”, dan kata “ عقب  sebelum kata ” عكر” dan seterusnya.
Khalil memulai mu’jamnya dengan huruf العين karena huruf ع  merupakan huruf أقصى الحلق, dan ia menamakan bab nya dengan bab العين karena ini adalah bagian pertama dari mu’jamnya, maka keseluruhan mu’jamnya disebut mu’jam العين.
Di antara karakteristik metode Khalil dalam penyusunan mu’jamnya ini, dia tidak hanya mencukupkan dengan menyebutkan pada setiap bab kata-kata yang dimulai dengan huruf tertentu, bahkan ia juga menyebutkan setelah setiap materi yang baru kata-kata yang di hasilkan dari perubahan suatu huruf dari asalnya. Contohnya ketika ia menyebutkan kata “ عقل  “ dalam bab العين dan menjelaskannya, kemudian dia pindah ke materi “ علق، لقع، لعق، قلع, قعل “ ini di istilahkan oleh para pakar bahasa arab dengan isytiqa’ kabir.
Urutan inilah yang membedakan antara fase Khalil dengan fase yang lain. Di antara murid-murid Khalil yang terkenal adalah:
a.       al- Azhari, mu’jamnya تهذيب اللغة
b.      al- qaly, mu’jamnya البارع
c.       Ibnu Sidah, mu’jamnya المحكم
d.      Al-Zubaidiy, mu’jamnya مختصر العين
Diantara bentuk kelemahan dari mu’jam-mu’jam pada fase ini ialah sulitnya mencari suatu kata di dalamnya, sulit mencari penunjuk suatu lafaz yang di maksud, memerlukan waktu yang lama untuk mencari kata, disebabkan kamus ini berdasarkan urutan makharijul huruf. Kesulitan inilah yang mnejadi penyebab munculnya fase kedua, karena para ahli berusaha untuk mempermudahnya. Ibnu Duraid berkata dalam mukaddimah mu’jamnya (جمهرة اللغة), Khalil bin Ahmad telah mengarang kitab al-‘Ain, akan tetapi menyulitkan orang yang ingin mempelajarinya, dan memberatkan orang yang ingin menggunakannya.  Contoh penyajian kata dalam mu’jam al-‘Ain:
حيعل_يحيعل_حيعلة, berasal dari kata   حي dan  على, menurut al-Khalil: tidak boleh menyusun huruf ‘ain dan huruf ha dalam satu kata, karena huruf ‘ain dan ha makhrajnya berdekatan. Kecuali membuat suatu fi’il dari gabungan antara dua kata, seperti حي على
b)     Fase نظام الفبائى الخاص
Contoh mu’jam yang ada pada fase ini ada 3 macam, yaitu :
1.      جمهرة اللغة, karangan ibn Duraid al-Azadi (w. 321 H).
2.      مقاييس اللغة  , karangan Ibn Faris (w. 395 H).
3.      المجمل karangan Ibn Faris (w. 395 H).
Ketiga mu’jam ini tidak mengikuti struktur urutan sesuai makharij al-huruf, akan tetapi membuat struktur yang baru dengan urutan huruf hija’iyyah.
Contoh penyajian kata dalam mu’jam مقاييس اللغة :
a.          Kata جعف  terdiri dari huruf  ج، ع، ف  dengan arti قلع الشيء وصرعه (mencabut sesuatu lalu melemparnya). Dikatakan : aku mengangkat seseorang setelah engkau menjatuhkannya ke tanah. Dan kata “ الانجعاف” berarti "الانقلاع" (pencabutan), engkau katakana انجعفت الشرة (pohon itu telah tumbang). Dalam hadits dikatakan : "مثل المنافق مثل الأرزة المجذية على الأرض حتى يكون انجعافها مرة"  (permisalan orang munafik seperti pohon cedar yang bergizi sehingga suatu saat akan tumbang).
b.         Kata “ جعل “ terdiri dari huruf  ج، ع، ل , suatu kata yang tidak terukur, tidak menyerupai yang lain.
Seperti firman Allah SWT :  او يستوي جثيثها وجعْلها.
c.          Kata “ جعم “ terdiri huruf    ج، ع، م  berarti " الكبر والحرص على الأكل" (congkak dan rakus terhadap makanan). 
c)      Fase نظام القافية
Orang pertama yang membuat نظام (struktur / tata aturan) qafiyah ini adalah al-Jauhary (w. 400 H), ia menyusun kata-kata dalam mu’jamnya sesuai dengan struktur alphabet dengan mengemukakan huruf terakhir sebagai asal dari kata.   Contoh : kata "استعلامات" terdapat dalam bab الميم  pasal العين , karena asalnya adalah adalah علم , dan kata "كاتب"  terdapat pada bab الباء pasal الكاف karena asal katanya adalah كتب . 
Di antara mu’jam pada fase ini adalah:
 لسان العرب، القاموس المحيط، تاج العروس، و العباب
d)     Fase الترتيب الألفبائي حسب اوائل الأصول
Pada fase ini, kata-kata di paparkan sesuai dengan urutan huruf hijaiyyah, dengan menetapkan huruf awal dari suatu kata menjadi asalnya. Adapun orang yang pertama kali membuat qamus dengan struktur ini adalah al-Zamakhsyari (w. 538 H) dengan mu’jamnya " اساس البلاغة".
Teori kemudian digunakan dalam kamus kontemporer, seperti:
 محيط المحيط، المنجد، و المعجم والوسيط.
Contoh dalam kamus المنجد :
Kata "سلخ"  
سلخ: سلخ سلخا الخروف: كشط جلده- المرأة درعها: نزعته.- الحية: انكشفت عن سلحتها ونزعتها.- الحية: انكشفت عن سلحتها ونزعتها.- الله النهار من الليل: استلّه.- الشهر: مضى.- الرجل الشهر: أمضاه وصار في أخره.
سلّخ الحر جلده: كشطه.
انسلخ من ثيابه: تجرد.- الشهر من سنته: مضى. النهار من الليل: انسلّ.-الحية من قشرها: خرجت.
سلْخ جلده: انسلخ.
سلْخ الشهر ومنسلخ وآخره
سلخ الحية وسلخها وسلختها: قشرها
السّلخ: ما على المغزل من الغزل
السّلخ : المسلوخ
السّلاخة في الشيء: أن لايكون له طعم.
السّلخة الولد. دهن ثمر البان قبل ان يربّب.- من شجر الرّمث ونحوه: ما ليس فيه مرعى بل هو خشب يابس.
السالخ : جرب يكون في الجمل يسلخ منه. صفة للأسود من الحيات لأنه ينسلخ جلده كل عام.

Contoh dalam kamus المحيط :
سلخْت الحيّة سُلوخا: انكشفت عن جلدها، وسلخ الشهر ونحوه: مضى. والنبات: اخضر بعد اليبس.- و الجلد سلخا: كشطه ونزعه. ويقال: سلخ الحرّ او الجربُ الجلد: كشطه او احراقه، و-ثيابه: خلعها ونزعها. و الله النهار من الليل، أو الليل من النهار: كشفه وفصله. وفي التنزيل العزيز: "وآية لهم الليل نسلخ منه النهار فإذا هم مظلمون". و-فلان آذاه بكلامه. و-فلان شهره ونحوه: امضاه وصار في آخره. و-الريح ما مرّت به: جرفته. و- الكلام: أزال بعضه وأحلّ مكانه آخر مرادفا فى المعنى.و- موضع الماء: حفره.
سلخ الطعام والشراب- سلاخة: لم يكن له طعم. فهو سليخ.
سلْخه : سلخه.
انسلخ : انكشف
تسلخ : انسلخ
الأسلخ : الاصلع. و-الشديد الحمرة (ج) سُلْخ.
السّالخ : من الحيات: الأسود الشديد  السواد. يقال: اسود سالخ (ولا يقال للأنثى سالخة، وإنما يقال: اسودة) وهو اقتل ما يكون من الحيات، سمي بذالك لأنه يسْلخ جلده كل عام. (ج) سوالخ، وسُلخ. و-جرب يسلخ جلود الجمل ونحوها.
السلاخة حرف السلاخ
السّلْخ: الجلد المسلوخ. و- آخر شهر
السّلخ: الجلد المسلوخ. (ج) سلوخ واسلاخ
السّلخ: ما على المغْزل من اللغزل
السّلخة: المرأة من السلخ. و- القطعة تسلخ من الشيء. ومنه: السلخة (في اصطلاح المطبعة): الجزء من الصفحة قبل الطبع. (محدثة).
السّلخة: هيئة السلخ.
السلاخ: الكثير السّلخ.و- من حرفته سلخ الجلود.
السليخ: المسلوخ. و-ما لا طعم له. يقال: سليخ مليح.
السّليخة: المولود.و-من العطر: شيء كأنه قشر منسلخ ذو شعب. و- من البان: دهن ثمرة قبل ان يُرَبَّب بأفاويه الطيّب.
المِسْلاخ: النخلة التي ينتشر بُسْرُها وهو أخضر. و- الجلدُ. ويقال في المدح او الذم: هو ملكٌ أو حمار في مسلاخ إنسان. (ج) مساليخ. 
المسْلخ: مكان سلخ الجلود. (ج) مسالخ. المسلخة: المَسلخ.   
                                                                 
Contoh dalam مفردات ألفاظ القرآن  karangan Raghib al-Asfahani:
السلخ: نزع جلد الحيوان، يقال: سلخته فانسلخ، وعنه استعير: سلخت درعه: نزعتها، وسلخ الشهر وانسلخ، قال تعالى: }فإذا انسلخ الأشهر الحرم{ [التوبة/5]، وقال تعالى: }نسلخ منه النهار{ [يس/37]، أي: ننزع، وأسود سالخ، سلخ جلده، أي: نزعه، ونخلة مسلاخ: ينتثر بسرها الأخضر.
e)      Fase  الترتيب النطقى (دون تجريد)
Pada fase ini penyusunan materinya sesuai dengan struktur pengucapan terhadap suatu kata. Diantara mu’jam yang terkenal pada fase ini adalah:
1-      المرجع  karangan Abdullah al-‘ilayaly
2-      الرائد  karangan Jabran Mas’ud
3-      المنجد الأبجدي  karangan Fuad Ifran al-Bustani
4-      لاروس karangan Khalil Jarri
Penganut paham ini mengatakan bahwa memperhatikan asal suatu kalimat (kata) merupakan suatu hal penting dalam menyusun materi kamus. Karena karakteristik penyusunan kamus dengan menggunakan suatu aturan khusus merupakan hal yang sangat urgen, terutama bagi para siswa di suatu sekolah, jika ia ingin membahas suatu makna kata, seharusnya ia berpatokan kepada tiga keterampilan berikut:
1-      Menghilangkan huruf-huruf tambahan dalam suatu kata
2-      Mengembalikan huruf-huruf yang fleksibel (اللينة ) kepada asalnya
3-      Menyebutkan kembali huruf-huruf yang mahzuf
Dan tidak di ragukan lagi bahwa terampil dalam kemahiran ini merupakan suatu hal yang sulit bagi siswa untuk memperoleh dan mengikutinya. Khususnya untuk menyesuaikannya dengan beberapa kata. Seperti kata "نساء"   yang terdapat pada materi kata "مرؤ". Dan kata " منطاد"  yang terdapat pada materi kata " طود ". serta kata " وثقات " yang terdapat pada materi kata " وثق " dan seterusnya.
Contoh dalam kamus " المرجع " , karangan عبد الله العلايلي :
آب: "وقع" في أوب.
آب: (*من البابلية: الغلّة) الشهر الثامن من السنة الشمسية. "الخ   
آب: ال: (*من السريانية) الأقنوم الأول في الثالوثى المسيحي.
آبت: "صف" المرتفع الحرارة، وأكثر ما ينعت به الجو، قالوا: يوم آبت اذا اشتدّت حرارته حتى الاحتدام وسكن الريح فيه حتى الضيق
آبد: "صف" المقيم القابع في المكان لايبرح، وأقدر ان معناه الاصل الساكن لايتحرج
G.       Makna-Makna Kata (Lafaz) Dalam Mu’jam Arab
Para pengumpul lafazh bahasa arab sudah menetapkan semenjak awal lafazh-lafazh bahasa arab yang mereka ambil dari teks-teks masa jahiliyah atau setelah islam. Mereka sudah mengeluarkan lafazh-lafazh itu dari teks-teks tersebut, kemudian menjelaskannya. Tujuan mereka adalah untuk menyelamatkan teks-teks tersebut dan mengambil pelajaran-pelajaran tentang adab (etika) dari teks-teks tersebut. Teks-teks tersebut sangat banyak sehingga sulit untuk dihimpun dalam satu kitab. Berdasarkan itu, muncullah ide mereka untuk mengklasifikasikan atau menyusun kata kunci untuk kata-kata yang banyak tersebut. Mereka memperhatikan lafaz-lafaz itu dan menjelaskan makna masing-masingnya dengan isyarah pada sebagian tempat dengan bukti-bukti sastra yang memandu untuk menjelaskan makna lafaz.
Demikianlah sekilas sejarah munculnya mu’jam, dan terus berkembang masa-masa selanjutnya. Para pengumpul lafaz-lafaz bahasa Arab mereka berada dihadapan lautan lafaz bahasa Arab yang membutuhkan pengaturan dan sistematika. Mereka menyusun lafaz-lafaz itu dengan menyertakan dengan syawahid atau teks-teks sastra, dan ada juga sebagian mereka yang hanya mengumpulkan lafaz tanpa syawahidnya  karena banyaknya lafaz-lafaz tersebut, misalnya seperti yang dilakukan oleh Al Fairus Abadi dalam mu’jamnya mu’jam kamus al Muhith.
Para penyusun kamus sebagian mengabil dari kamus lainnya, mereka saling terpengaruh antara satu dan yang lainnya. Mereka belum mempunyai media untuk memudahkan dalam penghitungan dan pembatasan kata-katanya. Demikian juga halnya dengan orang-orang yang datang setelah mereka, mereka kesulitan untuk itu karena kamus semakin berkembang. Tidak ada diantara mereka yang yang menghadapkan perhatianya untuk membahas sejarah lafaz dan perkembangannya dari masa ke masa. Tidak ada juga yang yang meninjau dari sisi sejarah dan budaya dari lafaz itu, tidak ada yang juga yang menjelaskan kepada kita sisi bahlagah dari lafaz dan ruang lingkup lafaz dan cakupan penggunaannya.
Berdasarkan hal itu, sebagian linguis dari orang-orang orientalis membuat mu’jam arab yang berisi kutipan-kutipan lafaz dari teks-teks. Yang nantinya ini menjadi rujukan bagi pelajar-pelajar berikutnya.
Diantara orang yang paling terkenal dari kalangan orientalis yang mengajak  untuk menggunakan mu’jam arab modern adalah Prof Faisyar dalam laporannya kepada Majma’ Lugawi, ia menjelaskan dalam laporan itu beberapa kekurangan mu’jam klasik dan juga menjelaskan hal-hal yang bias diambil dari mu’jam itu. Laporannya itu berisi tentang dalalah lafaz. Menurutnya Mu’jam klasik kurang konsekuen dalam menjelaskan madlul alfaz (hal yang ditunjuk oleh lafaz itu), dan kurang rinci dalam memberikan penjelasan. Sebagaimana juga para penyusun mu’jam berbeda pendapat dalam banyaknya madlul (yang ditunjuk) dari lafaz, ini bisa menyebabkan salah faham dalam memahami teks. Dalam mu’jam klasik juga tidak dijelaskan sejarah kata dan perkembangan dalalahnya, penyair dan penulis yang pertama menggunnakan kata itu dan yang terakhirnya, sampai pada masa abad ke III Hijriyah selesainya masa pendalilan. Seyogyanya harus ada rincian yang mendalam tentang batasan dari sebuah dalalah kata. Dan juga harus ada rician pertentangan dilalah yang bermacam-macam  terhadap kata yang disusun secata historis dan logis sesuai dengan turunan sebuah kata dari kata lainnya. Maka dalalah umum berkembang secara kebiasaan kedalalah khusus, dan dalalah konkrit berkembang secara kebiasaanya kedalalah abstrak.
Sangat banyak lafaz-lafaz dalam mu’jam yang yang diabaikan penjelasannya. Maka dilalahnya menjadi terputus dan samar. Karena ini, maka lafaz akan sangat dari kata teliti, padahal ketelitian adalah salah satu syarat penting dalam mu’jam yang bagus. Diantara penulis mu’jam ada yang mencukupkan dengan lambang  م didepan sebuah kata ini menunjukkan bahwa dalalah dari kata tersebut sudah dikenal, untuk masa kita sekarang itu tidak cukup. Ada juga diantara penulis mu’jam itu yang mendeskripsikan sebuah kata dengan ungkapan klasik yang samar seperti “ الصحراء  في  نبات"  artinya tumbuhan di padang pasir, atau دويبة serangga kecil.
Kita paparkan disini usaha-usaha penulis mu’jam fase-fase berikutnya, kalau kita amati secara cermat mereka hanya mengikuti penulis-penulis sebelumnya. Mereka tidak menambah materi atau kata-kata, akan tetapi mereka hanya berusaha melihat langsung kedalam teks-teks lama atau mendengarnya dari orang arab.  Karena itu, hampir semua mu’jam sama dalam menjelaskan makna lafaz. Sebagai contoh, kalimat رعاف dalam mu’jam-mu’jam klasik.
1.      Dalam mu’jam Jamharah,  Kamus ini disusun oleh Abu Bakar Muhammad bin Al-Hasan bin Duraid dari Basrah. Dalam kamus al aljamharah ini cara penyajian makna kata adalah seperti berikut ini.
رعف الرجل يرعف ، يرعف رعفا، والاسم الرعاف، والرعاف الدم بعينه. واصل الرعاف التقدم من قولهم فرس راعف أي متقدم، فكأنما الرعاف سبق فتقدم.
Seseorang laki-laki mimisan (keluar darah dari hidung).  Bentuk kata bendanya adalah الرعاف artinya mimisan. Kalimat الرعاف adalah darah itu sendiri. Asal katanya adalah التقدم yang berarti maju seperti dalam kalimat  فرس راعف أي متقدم orang yang mimisan maju. Seolah-olah mimisan itu mendahului atau maju.
2.      Dalam mu’jam Tahzhibul lugah karangan  Azhari
وقيل للدم الذي يخرج من الأنف ((رعاف)) لسبقه علم الرعاف. وقال الليث الرعاف أنف الجبل وجمعه الرواعف، والراعف طرف الأرنبة. أبو عبيد والأصمعى رعف (كمنع ونصر)، أبو حاتم عن الأصمعى رعف (كمنع ونصر) ولم يعرف رعف ولا رعف في فعل الرعاف.
Darah yang keluar dari hidung disebut رعاف  . Lais mengatakan رعاف  adalah puncak gunung. Jamaknya adalah الرواعف. Dan الراعف adalah mata kelinci. Abu ‘Ubaid dan Abu Hatim dari Ashma’i mengatakan tidak dikenal رُعف ولا رِعف في فعل الرعاف.  Tidak dikenal رُعف maupun رِعف dari perbuatan الرعاف
3.      Dalam mu’jam Shihah karangan al-Jauhari,
 الراعف الدم يخرج من الأنف، وقد رعف الرجل يرعف ويرعف ورُعف بالضم لغة ضعيفة. والراعف الفرس الذي يتقدم الخيل. والراعف طرف الأرنبة  وأنف الجبل.
الراعف adalaha darah yang keluar dari hidung. Seorang laki-laki sudah mimisan. Dengan mendhommahkan ro adalah bahasa yang lemah. الراعف adalah kuda yang mendahului kuda lain. والراعف juga berarti mata kelinci dan puncak gunung.
4.      Dalam Lisanul Arab karangan Ibn Manzhur 
الرعف السبق ورعفه يرعفه رعفا سبقه. والرعاف دم يسبق من الأنف. رعف يرعُف رعفا ورعافا. ورُعف وعف، قال الأزهري ولم يعرف رعف ولارعف في فعل الرعاف. قال الجوهري رعف بالضم لغة فيه ضعيفة. والراعف الفرس الذي يتقدم الخيل. والراعف طرف الأرنبة. والراعف أنف الجبل.
الرعف  adalah melewati, ورعفه يرعفه artinya adalah melewatinya. الرعاف adalah darah yang lewat dari hidung. رعف  fiil madhi,   يرعُف  fiil mudhari’,  رعفا ورعافا mashdarnya. Azhari mengatakan رعف dengan mendhommahkanny adalah bahasa lemah. الراعف adalah kuda yang mendahuli kuda lain, juga berarti mata kelinci dan puncak gunung.



5.      Dalam Qamus al Muhith karangan Alfairuz Abadi  
رعف كنصر ومنع وكرم و سمعع خرج من أنفه الدم رعفا ورعافا كغراب. والرعاف أيضا الدم بعينه. ورعف الفرس كمنع ونصر سبق والراعف طرف الأرنبة وأنف الجبل والفرس يتقدم الخيل.
رعف seperti menolong, melarang, memuliakan, mendengar, keluar dari hidungnya darah. رعفا ورعافا  seperti كغراب burung gagak. الرعاف darah itu sendiri. ورعف الفرس searti dengan mencegah, menolog, mendahului, طرف الأرنبة mata kelinci , أنف الجبل puncak gunung, kuda yang mendahului kuda lain.
Kalau kita perhatikan teks-teks diatas kita temukan persamaan yang sangat mencolok diatara mu’jam-mu’jam diatas. Kata الرعاف menurut mereka adalah darah yang keluar dari hidung, tidak ada diantara mereka yang mengungkapkan dengan يسيل من الأنف  (mengalir dari hidung), الراعف  menurut mereka adalah الفرس يتقدم الخيل kuda yang mendahului kuda lain. Tidak ada diantara mereka yang mengatakan    يسبقها . demikian juga أنف الجبل  tidak ada diantara mereka yang menjelaskannya dengan
 البارز في مقدمة الجبل  الجزء )bagian yang tampak pada puncak gunung) .
Dari hal kita melihat bahwa kembali ke mu’jam klasik tidak banyak terlihat disana pembahasan dilalah lafaz dan perkembangan dilalah. Bagi orang yang ingin mendalami tentang dilalah lafaz hendaknya ia melihat ke teks-teks sastra klasik.[11]















PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Dalam hal kaitan antara lafaz dan makna, ada tiga pandangan yang masing-masing menjelaskan perihal apakah lafaz dan makna mempunyai keterkaitan, ketiga pandangan tersebut sama-sama menjelaskan bahwa antara lafaz dan makna memiliki keterkaitan yang sangat erat.
2.      Kemudian berkaitan dengan perkembangan mu’jam arab, ini dibagi kepada lima fase, masing-masing fase ini memiliki kriteria penyusunan kata yang pada akhirnya menjadi suatu cirri khas kamus (mu’jam) itu sendiri. Selanjutnya  mengenai makna kata dalam mu’jam arab, pada dasarnya semua mu’jam arab itu menjelaskan makna suatu kata dengan menampilkan lafaz-lafaz lain yang memiliki makna yang sama terhadap kata tersebut, namun bedanya sebagian kamus menjelaskan makna suatu kata dengan menampilkan berbagai contoh. Sebagian yang lain hanya menampilkan kata yang lain yang sama maknanya.
B.     Saran
Dalam pemaparan makalah ini, penulis sangat mengharapkan saran yang tepat untuk kesempurnaan makalah ini, baik dari dosen pembimbing maupun dari semua pembaca, sehingga makalah ini bisa di sempurnakan sesuai dengan apa yang diharapkan.




[1] Ibrahim Anis, Dilalah al-Faz, (Mesir: Maktabah Anjalu Mishriyyah, 1991), h. 48-49
[2] Ibid, h. 62
[3] Ibid, h. 62-63
[4] Teks asli tulisan Idris Maimun di atas berbunyi :
" إن اللفظ والمعنى متلازمان ، إذ اللفظ جسمٌ روحهُ المعنى ، ومن ثم كان ما يوصف به أحدهما يعد وصفا للآخر، فإذا وصفت اللفظ بالغرابة أو الابتذال كان ذلك الوصف للمعنى الجاثم وراءه ؛ وكذلك الشأن في المعنى إن وصف بالوضوح أو الغموض كان ذلك وصفاً للفظ الذي يعرضه ويجلوه . فليس اللفظ والمعنى شيئين منفصلين كالكوب وما يكون فيه من شراب ، بل هما مترابطان ترابط الثوب بمادته
Lihat blog dengan judul al-Ulum, www.Ulum.NL.mimounidris@gmail.com, diakses pada rabu, 9 Januari 2013
[5] Ahmad Mukhtar Umar, Ilmu al-Dalalah, (Kairo: Alimul Kutub, 1993),  h. 18
[6] Ibrahim Anis, Dalalah al-Alfaz, Loc.Cit., h. 64
[7] Ahmad Muhammad Qadur, Mabadi’ al-Lisaniyyat, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1996), h. 286
[8] Abd al-Qadir Abu Syarifah, dkk, Ilmu al-Dilalah Wa al-Ma’ajim al-Arabi, (عمان: Dar al-Fikri, 1989), h. 115
[9] Ibid, h. 115-116
[10] Ibid, h. 118-129
[11] Ibrahim Anis, Loc. Cit, h. 248-251

Tidak ada komentar:

Posting Komentar