DILALAH al-ALFAZ FI al MU’JAM al-‘ARABI
Oleh : Fauzul Fil Amri
A.
Pendahuluan
Setiap bahasa yang dilafalkan oleh seseorang pasti memiliki makna
tertentu sesuai dengan maksud si penuturnya.
Perobahan makna dari suatu lafaz tersebut dipengaruhi oleh berbagai
sebab, namun yang menjadi pokok permasalahan disini adalah makna aslinya, makna
asli yang terdapat dalam kamus atau mu’jam bahasa arab, sebab secara fungsinya
kamus menjadi sarana atau alat bagi seseorang untuk mengetahui makna, akan
tetapi kamus sendiri tidak bisa memberikan makna yang pasti terhadap suatu
kata, karena bisa jadi di dalam kamus maknanya berbeda dengan apa yang terjadi
dalam kenyataan.
Berdasarkan hal di atas, penulis ingin
mengkaji “makna (dilalah) kata dalam mu’jam (kamus). Pertama yang akan di kaji
adalah pengertian dilalah al-faz, hubungan lafaz dengan makna, kemudian,
perkembangan mu’jam arab, jenis-jenisnya serta cara mengungkap makna suatu kata
dalam mu’jam arabi.
B.
Pengertian Dilalah al-Faz
Setiap kata dalam sebuah bahasa memiliki
dalalah mu’jamiyah (الألفاظ) atau
ijtima’iyah, yang berdiri sendiri dan merupakan dalalah tambahan bagi dalalah
asasiyah (dalalah sautiyah dan sorfiyah) yang dimiliki oleh kata itu. Dalalah
tambahan ini dinamakan dalalah ijtima’iyah seperti kata-kata كذاب menunjukkan
kepada seseorang yang memiliki sifat pendusta, inilah yang dinamakan dengan
dalalah ijtima’iyah.
Seorang pendengar dapat memahami sebuah
ungkapan dengan benar jika ia telah menguasai semua jenis dalalah di atas ia
tidak perlu memahami undang-undang nahu saraf dalam bentuknya yang rumit
seperti yang terdapat pada karangan pakar-pakar nahu terdahulu, akan tetapi ia
cukup mengetahui semua ilmu itu melalui mendengar dan mengucapkan (talakhi dan
musafaha) usaha ini membutuhkan waktu yang panjang sebelum seseorang
benar-benar menguasai bahasa sehingga menjadi kebiasaan (adat dalam berbicara)
tanpa perlu mendalami spesifikasi bahasa itu seperti yang dilakukan oleh pakar
nahu saraf yang terdahulu.
Dilalah sautiyah, sorfiyah, dan nahwiyah
akan dapat menjadi sebuah kebiasaan setelah melakukan latihan yang cukup
sehingga ia dapat digunakan sebagai sarana untuk memahami sebuah ungkapan tanpa
memerlukan usaha yang besar. Tahapan inilah yang dikenal oleh pakar linguistik
dengan istilah saliqah lughawiyah.[1]
C. Hubungan Antara Lafaz Dan Dalalah (الصلة بين اللفظ والدلالة)
Bahasa terdiri
dari dua unsur penting yaitu lafal dan makna. Lafal adalah wadah dari makna,
karena itulah, lafal yang baik adalah lafal yang digunakan untuk makna yang
sesuai dan tepat. Bahasa Arab sebagai suatu bahasa juga terdiri dari lafal dan
makna, dan orang arab sangatlah teliti dalam memilih lafal untuk suatu makna.
1. Pandangan Filosof Yunani
Para filosuf Yunani terkenal dengan
pemikiran dan daya nalarnya yang tajam serta mendalam melakukan kajian tentang
bahasa, yaitu apakah ada hubungan yang erat antara lafal dan makna.[2] Mereka
merasa kagum dan heran dengan bunyi-bunyi yang diucapkan seseorang. Bunyi-bunyi
itu dikeluarkan dari kerongkongan seseorang dan dijadikan sarana menyampaikan
maksudnya dalam interaksi kehidupan bermasyarakat untuk saling tolong menolong
serta memahami satu sama lain.
Kajian tentang lafaz dan makna dapat
ditelusuri dengan memahami gagasan Plato, Aristoteles, Reisig, dan Breal yang
selanjutnya dikembangkan oleh D Saussure, Ogden, Bloomfield, Hocket, Pateda dan
linguis-linguis kontemporer lainnya.
Plato (yang hidup pada 429-347 SM) sudah
menyinggung makna bahasa dalam Cratylus. Plato menjelaskan bahwa bunyi
bahasa mengandung makna tertentu. Aristoteles (384-322) juga membahas makna
satuan bahasa yang terkecil yang bermakna. Lebih jauh lagi, Aristoteles
menjelaskan bahwa makna kata itu dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a) Makna yang hadir dari kata itu sendiri
secara otonom (bersifat inheren).
b) Makna yang timbul karena proses
gramatika. Abdul Chaer menilai makna yang pertama itu adalah sama dengan makna
leksikal dan makna yang kedua adalah sama dengan makna gramatikal.
Lalu muncul
perbedaan pandangan di antara para linguis berkisar pada hubungan lambang dan
yang dilambanginya. Plato, dalam hal ini berpendapat bahwa ada hubungan yang
sistematis antara lambang bahasa dengan sesuatu yang dilambanginya. Sebaliknya,
Aristoteles berpendapat bahwa tidak ada hubungan yang sistematis antara lambang
bahasa dengan sesuatu yang dilambanginya.[3]
Pendapat Plato
yang menyatakan bahwa ada hubungan antara lambang dengan yang dilambanginya
didukung data bahasa yang berupa kata-kata yang bersifat anomatope, yaitu
kata-kata yang hampir sama dengan sesuatu yang dilambanginya. Contoh, bunyi
binatang kecil pemakan serangga yang merayap di dinding adalah cek…cek…cek…
lalu binatang itu diberi nama cecak atau cicak. Contoh lain binatang reptil
yang yang hidup di batang kayu yang bersuara tokek..tokek…tokek diberi nama
tokek. Berdasarkan dua contoh ini kita memahami bahwa memang terdapat kemiripan
antara lambang bahasa dengan sesuatu yang dilambanginya.
Setelah banyak
melakukan penelitian dan diskusi-diskusi akhirnya mereka sampai pada kesimpulan
bahwa antara lafal dan makna terdapat hubungan yang sangat erat sebagaimana
hubungan api dengan membakar. Kuatnya hubungan lafaz dengan makna tergambar
dalam tulisan Idris Maimun, seorang guru besar ilmu bahasa Arab di Jamiah
al-Sulthan Maulaya Sulaiman, bahwa hubungan antara lafaz dan makna adalah seperti
hubungan jasad dengan ruh.[4]
Hal ini
mengarahkan kepada pemahaman bahwa hubungan antara lafal dan makna memberikan
solusi untuk mendapatkan pemahaman atas sesuatu. Dengan demikian lafaz dan makna itu mempunyai ikatan yang kuat, makna tidak
terwujud tanpa adanya lafaz, sesuatu bentuk dalam pikiran (idea) tidak
terbentuk kecuali ketika dilafazkan dengan lafal-lafal tertentu. Berdasarkan
ini para pemikir Yunani menamakan hubungan ini dengan “al-shilah
al-Tabi’iyyah atau al-shilah al-zatiyah”
Diantara
para pemikir atau filosof Yunani yang berpendapat dengan pendapat ini adalah
Plato, Socrates dan Aristoteles. Plato cenderung pada hubungan yang disebut
dengan al-‘alaqah al-thabi’iyyah al-zatiyyah.[5] Socrates
menyimpulkan bahwa antara lafaz dan makna mempunyai ikatan yang
alamiah-subektiv, yaitu adanya hubungan yang kuat antara
lafaz dan makna. Makna tidak akan ada tanpa ada lafaz, karena makna hanya akan
terbentuk ketika dilafazkan dengan lafaz-lafaz tertentu.
2.
Pandangan Ulama Arab
Pemikiran yang dipopulerkan
oleh linguis Yunani ini juga diikuti oleh Linguis Arab, yaitu ‘Ubbad ibn
al-Shaimariy, seorang linguis yang beraliran Mu’tazilah. Dia berpendapat bahwa
hubungan antara lafal dan makna merupakan sesuatu yang natural dan bukan
merupakan sesuatu yang ditetapkan.[6]
Namun sebagian
besar linguis Arab tidak sepenuhnya berpegang pada pendapat yang diadopsi oleh
al-Shaimariy dari linguis Yunani. Pembicaraan tentang hubungan antara lafal dan
makna banyak dikaji dalam tulisan dan karya mereka. Mereka mencoba mengaitkan
antara lafaz dan maknanya dengan hubungan yang kuat, namun tidak sampai pada
tataran al-shilah al-thabi’iyyah atau al-dzatiyah.
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa para linguis Arab ini mengatakan bahwa antara lafaz dan
makna memiliki keterkaitan atau hubungan yang kuat, tetapi bukan seperti yang
digambarkan dalam arti hubungan thabi’iyyah. Sedang hubungan yang
dimaksud mereka itu adalah hubungan biasa (bersifat sementara) antara lafaz
dengan makna.
Keberagaman
pendapat para linguis sekitar lafaz dan makna selanjutnya disikapi oleh
al-Suyuthi, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Muhammad Qadur, dengan membagi
pendapat para linguis kepada empat bagian:[7]
a.
Makna dari lafaz melihat kepada zatnya, atau di antara keduanya
memiliki hubungan yang alamiah. Pendapat ini didukung oleh ‘Ubbad ibn
al-Shaimariy.
b.
Segala sesuatu yang menyangkut dengan makna kata telah ditentukan
oleh Allah. Pendapat ini dipegang oleh sebagian besar muslim.
c.
Makna segala sesuatu tergantung kepada manusia itu sendiri.
Pendapat ini dipegang oleh kelompok Mu’tazilin.
d.
Pendapat terakhir menyatakan bahwa sebagian ditentukan Allah dan
sebagian lagi atas prakarsa manusia.
3.
Pandangan kalangan modernis
Jaspersen sebagai salah seorang dari kalangan modernis
berpendapat bahwa adanya kesesuaian antara kata (lafaz) dan maknanya, berbeda
dengan De Saussure yang berpendapat bahwa hubungan kata dan makna adalah
arbitrer (tidak terikat dengan system yang berlaku). Menurut De Saussure,
kalaupun ada onomatope (kata yang menirukan bunyi tertentu), itu hanya
sedikit contohnya dalam bahasa-bahasa di dunia.
Masing-masing kamus mempunyai metode yang berbeda-beda
dalam penyusunan dan urutan bab-babnya. Ada beberapa hal yang umum yang mesti
di perhatikan ketika mengungkap makna kata di dalam kamus :
a. Kata asal yang bisa kita cari secara
langsung contohnya : قرأ، كتب، درس
b. Kata tambahan dikembalikan kedalam bentuk
asalnya contohnya kata :إستعجم kita kembalikan kedalam
bentuk asalnya dengan memisahkannya dengan huruf-huruf tambahan ( alif sin dan
ta ), maka tinggal huruf aslinya yaitu kata : عجم
c. Kata jamak dikembalikan kedalam bentuk
mufradnya contoh :متعلمين diubah menjadi kedalam
bentuk mufradnyaمتعلم , kemudian dipisahkan
dari huruf tambahannya maka ia menjadi (علم )
d. Fi’il mudhari’ dan fi’il amar dikembalikan
kedalam bentuk fi’il madhinya, apabila pada fi’il madhi tersebut ada huruf
tambahan dikemabalikan kedalam bentuk asal kata contoh : يكتبون diubah menjadi kata :كتبوا kemudian dibuang huruf tambahannya menjadi
: كتب
e. Kata yang terdapat padanya huruf yang tidak
asli dikembalikan ke huruf asli, contoh : سماhuruf alif disana adalah ganti dari huruf
waw, maka ketika dikembalikan kedalam huruf asli ia menjadi : سمو
f. Kata-kata yang bertasydid dipisahkan dari
tasydidnya contoh kata :مدّ ketika dipisahkan maka ia
menjadi مدد
a) Ditampilkan lafaznya kemudian dijelaskan
madlulnya dan hal-hal yang berkaitan dengannya, dia mempunyai metode khusus
dalam mengurutkan lafaz-lafaz. Mu’jam jenis ini disebukan dengan mu’jam alfaz. Diantara
mu’jam jenis ini adalah mu’jam al-‘Ain karangan al-Farahidi, Mu’jam ash-Shihhah
karangan Jauhari, Lisan al-‘Arab karangan Ibnu Manzur, dan Asasul Balaghah
karangan Zamakhsyari.
b) Mengumpulkan lafaz-lafaz yang mempunyai
topik yang sama atau seputar makna yang
sama, mu’jam jenis ini disebut dengan mu’jam ma’ani atau mu’jam maudhu’I
(tematik). Contohnya adalah: kitab Fiqh Lughah karangan al-Tsa’alibiy, dan
al-Mukhasshis karangan Ibnu Sidah,
F.
Perkembangan Mu’jam Arab
Ada lima fase perkembangan mu’jam arabi:[10]
1) Fase نظام صوتى و
نظام تقليبات (struktur bunyi)
2) Fase نظام الفبائى الخاص (struktur alfabetis khusus)
3) Fase نظام القافية (struktur sajak)
4) Fase نظام الفبائى
العادي (struktur alfabetis
biasa)
5) Fase نظام الفبائى
النطقي (struktur alfabetis ucap)
a) Fase نظام صوتى و نظام تقليبات
Orang pertama yang membuat Mu’jam dengan struktur (نظام) ini adalah Khalil Bin Ahmad Al-Farahidi (w. 175 H), dengan
mu’jamnya yaitu mu’jam al-‘ain. Dia menyusun kata-kata dalam mu’jamnya sesuai
dengan makharijul huruf dengan tetap memperhatikan asal suatu kata. Contohnya
kata “عقد”
dalam bab العين dan kata “ خلف” dalam
bab الخاء,
dan seterusnya.
Khalil bin Ahmad al-Farahidi tidak
mengurutkan bab dalam kitabnya sesuai dengan urutan alfabetis yang kita kenal
sekarang, seperti : أ، ب، ت، ث، ج........ إلخ , akan tetapi ia menyusun sesuai dengan
makharijul huruf, dia memulai dengan huruf أقصى الحلق sampai ke huruf-huruf شفتين , kemudian ia menutup kitabnya dengan
huruf-huruf علة.
Adapun susunan mu’jamnya seperti dibawah ini:
a.
Huruf-huruf halqiyah ( ع، ح، هـ، خ، غ),
b.
Huruf-huruf lahwiyah ( ق، ك ),
c.
Huruf-huruf Syajariyah ( ج، ش، ض ).
d.
Huruf-huruf Nath’iyyah ( ط، د، ت),
e.
Huruf-huruf Lutsuwiyah ( ظ،
ذ، ث ),
f.
Huruf-huruf dzalaqiyyah ( ر،
ل، ن، ف، ب،م )
g.
Huruf-huruf hawa’iyah ( و، أ، ي ).
Berdasarkan
urutan huruf-huruf di atas, maka kata “ عقل” terletak di bab ‘ain sebelum kata “ عقف”, dan kata “ عقف”
sebelum kata “ عقب”,
dan kata “ عقب” sebelum kata ” عكر” dan seterusnya.
Khalil memulai
mu’jamnya dengan huruf العين karena huruf ع merupakan
huruf أقصى الحلق, dan ia menamakan bab nya dengan bab العين karena ini adalah bagian pertama dari
mu’jamnya, maka keseluruhan mu’jamnya disebut mu’jam العين.
Di antara
karakteristik metode Khalil dalam penyusunan mu’jamnya ini, dia tidak hanya
mencukupkan dengan menyebutkan pada setiap bab kata-kata yang dimulai dengan
huruf tertentu, bahkan ia juga menyebutkan setelah setiap materi yang baru
kata-kata yang di hasilkan dari perubahan suatu huruf dari asalnya. Contohnya
ketika ia menyebutkan kata “ عقل “ dalam bab العين dan menjelaskannya, kemudian dia pindah ke
materi “ علق، لقع، لعق،
قلع, قعل “ ini di istilahkan oleh para pakar bahasa arab dengan isytiqa’
kabir.
Urutan inilah yang membedakan antara fase Khalil dengan fase yang lain.
Di antara murid-murid Khalil yang terkenal adalah:
a. al- Azhari, mu’jamnya تهذيب اللغة
b. al- qaly, mu’jamnya البارع
c. Ibnu Sidah, mu’jamnya المحكم
d. Al-Zubaidiy, mu’jamnya مختصر العين
Diantara bentuk kelemahan dari mu’jam-mu’jam pada fase ini ialah
sulitnya mencari suatu kata di dalamnya, sulit mencari penunjuk suatu lafaz
yang di maksud, memerlukan waktu yang lama untuk mencari kata, disebabkan kamus
ini berdasarkan urutan makharijul huruf. Kesulitan inilah yang mnejadi penyebab
munculnya fase kedua, karena para ahli berusaha untuk mempermudahnya. Ibnu
Duraid berkata dalam mukaddimah mu’jamnya (جمهرة اللغة),
Khalil bin Ahmad telah mengarang kitab al-‘Ain, akan tetapi menyulitkan orang
yang ingin mempelajarinya, dan memberatkan orang yang ingin menggunakannya. Contoh penyajian kata dalam mu’jam
al-‘Ain:
حيعل_يحيعل_حيعلة,
berasal dari kata حي dan على, menurut al-Khalil: tidak boleh menyusun
huruf ‘ain dan huruf ha dalam satu kata, karena huruf ‘ain dan ha makhrajnya
berdekatan. Kecuali membuat suatu fi’il dari gabungan antara dua kata, seperti حي على
b)
Fase نظام الفبائى
الخاص
Contoh mu’jam yang ada pada fase ini ada 3
macam, yaitu :
1. جمهرة اللغة, karangan ibn Duraid
al-Azadi (w. 321 H).
2. مقاييس اللغة , karangan Ibn Faris (w. 395 H).
3. المجمل karangan Ibn Faris (w. 395 H).
Ketiga mu’jam
ini tidak mengikuti struktur urutan sesuai makharij al-huruf, akan tetapi
membuat struktur yang baru dengan urutan huruf hija’iyyah.
Contoh
penyajian kata dalam mu’jam مقاييس
اللغة :
a.
Kata جعف terdiri dari huruf ج، ع، ف dengan
arti قلع الشيء وصرعه
(mencabut sesuatu lalu melemparnya). Dikatakan : aku mengangkat seseorang
setelah engkau menjatuhkannya ke tanah. Dan kata “ الانجعاف” berarti "الانقلاع" (pencabutan), engkau katakana انجعفت الشرة (pohon itu telah tumbang). Dalam hadits
dikatakan : "مثل المنافق مثل الأرزة المجذية على الأرض
حتى يكون انجعافها مرة" (permisalan orang munafik seperti pohon cedar
yang bergizi sehingga suatu saat akan tumbang).
b.
Kata “ جعل “ terdiri dari huruf ج، ع، ل , suatu kata yang tidak terukur, tidak
menyerupai yang lain.
Seperti firman Allah SWT : او يستوي جثيثها وجعْلها.
c.
Kata “ جعم “ terdiri huruf ج، ع،
م berarti
" الكبر والحرص على
الأكل" (congkak dan rakus terhadap
makanan).
c) Fase نظام القافية
Orang
pertama yang membuat نظام (struktur / tata aturan) qafiyah ini adalah al-Jauhary (w. 400
H), ia menyusun kata-kata dalam mu’jamnya sesuai dengan struktur alphabet
dengan mengemukakan huruf terakhir sebagai asal dari kata.
Contoh : kata "استعلامات" terdapat dalam bab
الميم pasal العين , karena asalnya adalah adalah علم , dan kata "كاتب" terdapat pada bab الباء pasal
الكاف karena asal katanya
adalah كتب
.
Di antara
mu’jam pada fase ini adalah:
لسان
العرب، القاموس المحيط، تاج العروس، و العباب
d) Fase الترتيب الألفبائي حسب اوائل الأصول
Pada fase
ini, kata-kata di paparkan sesuai dengan urutan huruf hijaiyyah, dengan
menetapkan huruf awal dari suatu kata menjadi asalnya. Adapun orang yang
pertama kali membuat qamus dengan struktur ini adalah al-Zamakhsyari (w. 538 H)
dengan mu’jamnya "
اساس البلاغة".
Teori kemudian
digunakan dalam kamus kontemporer, seperti:
محيط المحيط، المنجد، و المعجم والوسيط.
Contoh dalam kamus المنجد :
Kata "سلخ"
سلخ: سلخ سلخا الخروف: كشط جلده-
المرأة درعها: نزعته.- الحية: انكشفت عن سلحتها ونزعتها.- الحية: انكشفت عن سلحتها
ونزعتها.- الله النهار من الليل: استلّه.- الشهر: مضى.- الرجل الشهر: أمضاه وصار
في أخره.
سلّخ الحر جلده: كشطه.
انسلخ من ثيابه: تجرد.- الشهر من سنته:
مضى. النهار من الليل: انسلّ.-الحية من قشرها: خرجت.
سلْخ جلده: انسلخ.
سلْخ الشهر ومنسلخ وآخره
سلخ الحية وسلخها وسلختها: قشرها
السّلخ: ما على المغزل من الغزل
السّلخ : المسلوخ
السّلاخة في الشيء: أن لايكون له طعم.
السّلخة الولد. دهن ثمر البان قبل ان يربّب.-
من شجر الرّمث ونحوه: ما ليس فيه مرعى بل هو خشب يابس.
السالخ : جرب يكون في الجمل يسلخ منه.
صفة للأسود من الحيات لأنه ينسلخ جلده كل عام.
Contoh dalam kamus المحيط :
سلخْت الحيّة سُلوخا: انكشفت عن جلدها،
وسلخ الشهر ونحوه: مضى. والنبات: اخضر بعد اليبس.- و الجلد سلخا: كشطه ونزعه.
ويقال: سلخ الحرّ او الجربُ الجلد: كشطه او احراقه، و-ثيابه: خلعها ونزعها. و الله
النهار من الليل، أو الليل من النهار: كشفه وفصله. وفي التنزيل العزيز: "وآية
لهم الليل نسلخ منه النهار فإذا هم مظلمون". و-فلان آذاه بكلامه. و-فلان شهره
ونحوه: امضاه وصار في آخره. و-الريح ما مرّت به: جرفته. و- الكلام: أزال بعضه
وأحلّ مكانه آخر مرادفا فى المعنى.و- موضع الماء: حفره.
سلخ الطعام والشراب- سلاخة: لم يكن له
طعم. فهو سليخ.
سلْخه : سلخه.
انسلخ : انكشف
تسلخ : انسلخ
الأسلخ : الاصلع. و-الشديد الحمرة (ج)
سُلْخ.
السّالخ : من الحيات: الأسود
الشديد السواد. يقال: اسود سالخ (ولا يقال
للأنثى سالخة، وإنما يقال: اسودة) وهو اقتل ما يكون من الحيات، سمي بذالك لأنه
يسْلخ جلده كل عام. (ج) سوالخ، وسُلخ. و-جرب يسلخ جلود الجمل ونحوها.
السلاخة حرف السلاخ
السّلْخ: الجلد المسلوخ. و- آخر شهر
السّلخ: الجلد المسلوخ. (ج) سلوخ
واسلاخ
السّلخ: ما على المغْزل من اللغزل
السّلخة: المرأة من السلخ. و- القطعة
تسلخ من الشيء. ومنه: السلخة (في اصطلاح المطبعة): الجزء من الصفحة قبل الطبع.
(محدثة).
السّلخة: هيئة السلخ.
السلاخ: الكثير السّلخ.و- من حرفته سلخ
الجلود.
السليخ: المسلوخ. و-ما لا طعم له.
يقال: سليخ مليح.
السّليخة: المولود.و-من العطر: شيء
كأنه قشر منسلخ ذو شعب. و- من البان: دهن ثمرة قبل ان يُرَبَّب بأفاويه الطيّب.
المِسْلاخ: النخلة التي ينتشر بُسْرُها
وهو أخضر. و- الجلدُ. ويقال في المدح او الذم: هو ملكٌ أو حمار في مسلاخ إنسان.
(ج) مساليخ.
المسْلخ: مكان سلخ
الجلود. (ج) مسالخ. المسلخة: المَسلخ.
Contoh dalam مفردات
ألفاظ القرآن karangan Raghib al-Asfahani:
السلخ: نزع جلد
الحيوان، يقال: سلخته فانسلخ، وعنه استعير: سلخت درعه: نزعتها، وسلخ الشهر وانسلخ،
قال تعالى: }فإذا
انسلخ الأشهر الحرم{ [التوبة/5]، وقال تعالى: }نسلخ
منه النهار{ [يس/37]، أي:
ننزع، وأسود سالخ، سلخ جلده، أي: نزعه، ونخلة مسلاخ: ينتثر بسرها الأخضر.
e) Fase الترتيب النطقى (دون تجريد)
Pada fase ini penyusunan materinya sesuai dengan
struktur pengucapan terhadap suatu kata. Diantara mu’jam yang terkenal pada
fase ini adalah:
1- المرجع
karangan Abdullah al-‘ilayaly
2- الرائد karangan Jabran Mas’ud
3- المنجد الأبجدي karangan Fuad Ifran al-Bustani
4- لاروس karangan Khalil Jarri
Penganut paham ini mengatakan bahwa memperhatikan asal suatu
kalimat (kata) merupakan suatu hal penting dalam menyusun materi kamus. Karena
karakteristik penyusunan kamus dengan menggunakan suatu aturan khusus merupakan
hal yang sangat urgen, terutama bagi para siswa di suatu sekolah, jika ia ingin
membahas suatu makna kata, seharusnya ia berpatokan kepada tiga keterampilan
berikut:
1-
Menghilangkan huruf-huruf tambahan dalam suatu kata
2-
Mengembalikan huruf-huruf yang fleksibel (اللينة ) kepada asalnya
3-
Menyebutkan kembali huruf-huruf yang mahzuf
Dan tidak di ragukan lagi bahwa terampil dalam kemahiran ini merupakan
suatu hal yang sulit bagi siswa untuk memperoleh dan mengikutinya. Khususnya
untuk menyesuaikannya dengan beberapa kata. Seperti kata "نساء" yang terdapat pada
materi kata "مرؤ". Dan kata " منطاد" yang terdapat pada materi kata "
طود ". serta kata " وثقات " yang terdapat pada materi kata " وثق " dan seterusnya.
Contoh dalam
kamus "
المرجع " , karangan عبد الله العلايلي :
آب:
"وقع" في أوب.
آب:
(*من البابلية: الغلّة) الشهر الثامن من السنة الشمسية. "الخ
آب: ال: (*من السريانية) الأقنوم الأول في الثالوثى
المسيحي.
آبت: "صف" المرتفع الحرارة، وأكثر ما ينعت به
الجو، قالوا: يوم آبت اذا اشتدّت حرارته حتى الاحتدام وسكن الريح فيه حتى الضيق
آبد: "صف" المقيم القابع في المكان لايبرح،
وأقدر ان معناه الاصل الساكن لايتحرج
G.
Makna-Makna Kata (Lafaz) Dalam Mu’jam Arab
Para pengumpul
lafazh bahasa arab sudah menetapkan semenjak awal lafazh-lafazh bahasa arab
yang mereka ambil dari teks-teks masa jahiliyah atau setelah islam. Mereka
sudah mengeluarkan lafazh-lafazh itu dari teks-teks tersebut, kemudian
menjelaskannya. Tujuan mereka adalah untuk menyelamatkan teks-teks tersebut dan
mengambil pelajaran-pelajaran tentang adab (etika) dari teks-teks tersebut.
Teks-teks tersebut sangat banyak sehingga sulit untuk dihimpun dalam satu
kitab. Berdasarkan itu, muncullah ide mereka untuk mengklasifikasikan atau
menyusun kata kunci untuk kata-kata yang banyak tersebut. Mereka memperhatikan
lafaz-lafaz itu dan menjelaskan makna masing-masingnya dengan isyarah pada
sebagian tempat dengan bukti-bukti sastra yang memandu untuk menjelaskan makna
lafaz.
Demikianlah sekilas
sejarah munculnya mu’jam, dan terus berkembang masa-masa selanjutnya. Para
pengumpul lafaz-lafaz bahasa Arab mereka berada dihadapan lautan lafaz bahasa
Arab yang membutuhkan pengaturan dan sistematika. Mereka menyusun lafaz-lafaz
itu dengan menyertakan dengan syawahid atau teks-teks sastra, dan ada juga
sebagian mereka yang hanya mengumpulkan lafaz tanpa syawahidnya karena banyaknya lafaz-lafaz tersebut,
misalnya seperti yang dilakukan oleh Al Fairus Abadi dalam mu’jamnya mu’jam
kamus al Muhith.
Para penyusun
kamus sebagian mengabil dari kamus lainnya, mereka saling terpengaruh antara
satu dan yang lainnya. Mereka belum mempunyai media untuk memudahkan dalam
penghitungan dan pembatasan kata-katanya. Demikian juga halnya dengan
orang-orang yang datang setelah mereka, mereka kesulitan untuk itu karena kamus
semakin berkembang. Tidak ada diantara mereka yang yang menghadapkan
perhatianya untuk membahas sejarah lafaz dan perkembangannya dari masa ke masa.
Tidak ada juga yang yang meninjau dari sisi sejarah dan budaya dari lafaz itu,
tidak ada yang juga yang menjelaskan kepada kita sisi bahlagah dari lafaz dan
ruang lingkup lafaz dan cakupan penggunaannya.
Berdasarkan hal
itu, sebagian linguis dari orang-orang orientalis membuat mu’jam arab yang
berisi kutipan-kutipan lafaz dari teks-teks. Yang nantinya ini menjadi rujukan
bagi pelajar-pelajar berikutnya.
Diantara orang
yang paling terkenal dari kalangan orientalis yang mengajak untuk menggunakan mu’jam arab modern adalah
Prof Faisyar dalam laporannya kepada Majma’ Lugawi, ia menjelaskan dalam
laporan itu beberapa kekurangan mu’jam klasik dan juga menjelaskan hal-hal yang
bias diambil dari mu’jam itu. Laporannya itu berisi tentang dalalah lafaz.
Menurutnya Mu’jam klasik kurang konsekuen dalam menjelaskan madlul alfaz (hal
yang ditunjuk oleh lafaz itu), dan kurang rinci dalam memberikan penjelasan.
Sebagaimana juga para penyusun mu’jam berbeda pendapat dalam banyaknya madlul
(yang ditunjuk) dari lafaz, ini bisa menyebabkan salah faham dalam memahami
teks. Dalam mu’jam klasik juga tidak dijelaskan sejarah kata dan perkembangan
dalalahnya, penyair dan penulis yang pertama menggunnakan kata itu dan yang
terakhirnya, sampai pada masa abad ke III Hijriyah selesainya masa pendalilan.
Seyogyanya harus ada rincian yang mendalam tentang batasan dari sebuah dalalah
kata. Dan juga harus ada rician pertentangan dilalah yang bermacam-macam terhadap kata yang disusun secata historis dan
logis sesuai dengan turunan sebuah kata dari kata lainnya. Maka dalalah umum
berkembang secara kebiasaan kedalalah khusus, dan dalalah konkrit berkembang
secara kebiasaanya kedalalah abstrak.
Sangat banyak
lafaz-lafaz dalam mu’jam yang yang diabaikan penjelasannya. Maka dilalahnya
menjadi terputus dan samar. Karena ini, maka lafaz akan sangat dari kata
teliti, padahal ketelitian adalah salah satu syarat penting dalam mu’jam yang
bagus. Diantara penulis mu’jam ada yang mencukupkan dengan lambang م
didepan sebuah kata ini menunjukkan bahwa dalalah dari kata tersebut sudah
dikenal, untuk masa kita sekarang itu tidak cukup. Ada juga diantara penulis
mu’jam itu yang mendeskripsikan sebuah kata dengan ungkapan klasik yang samar
seperti “ الصحراء في نبات" artinya tumbuhan di
padang pasir, atau دويبة serangga kecil.
Kita paparkan
disini usaha-usaha penulis mu’jam fase-fase berikutnya, kalau kita amati secara
cermat mereka hanya mengikuti penulis-penulis sebelumnya. Mereka tidak menambah
materi atau kata-kata, akan tetapi mereka hanya berusaha melihat langsung
kedalam teks-teks lama atau mendengarnya dari orang arab. Karena itu, hampir semua mu’jam sama dalam
menjelaskan makna lafaz. Sebagai contoh, kalimat رعاف
dalam mu’jam-mu’jam klasik.
1. Dalam mu’jam Jamharah,
Kamus ini disusun oleh Abu Bakar Muhammad bin
Al-Hasan bin Duraid dari Basrah. Dalam kamus al aljamharah ini cara penyajian
makna kata adalah seperti berikut ini.
رعف الرجل يرعف ،
يرعف رعفا، والاسم الرعاف، والرعاف
الدم بعينه. واصل الرعاف التقدم من قولهم فرس راعف أي متقدم، فكأنما الرعاف سبق
فتقدم.
Seseorang
laki-laki mimisan (keluar darah dari hidung). Bentuk
kata bendanya adalah الرعاف artinya
mimisan. Kalimat الرعاف adalah darah itu sendiri. Asal katanya adalah التقدم yang berarti maju seperti dalam kalimat فرس
راعف أي متقدم orang yang
mimisan maju. Seolah-olah mimisan itu mendahului atau maju.
2.
Dalam mu’jam Tahzhibul lugah karangan Azhari
وقيل للدم الذي يخرج من الأنف ((رعاف))
لسبقه علم الرعاف. وقال الليث الرعاف أنف الجبل وجمعه الرواعف، والراعف طرف
الأرنبة. أبو عبيد والأصمعى رعف (كمنع ونصر)، أبو حاتم عن الأصمعى رعف (كمنع ونصر)
ولم يعرف رعف ولا رعف في فعل الرعاف.
Darah yang keluar dari hidung disebut رعاف . Lais mengatakan رعاف adalah puncak gunung.
Jamaknya adalah الرواعف.
Dan الراعف
adalah mata kelinci. Abu ‘Ubaid dan Abu Hatim dari Ashma’i mengatakan tidak
dikenal رُعف ولا رِعف
في فعل الرعاف. Tidak dikenal رُعف maupun رِعف
dari perbuatan الرعاف
3.
Dalam mu’jam Shihah karangan al-Jauhari,
الراعف
الدم يخرج من الأنف، وقد رعف الرجل يرعف ويرعف ورُعف بالضم لغة ضعيفة. والراعف
الفرس الذي يتقدم الخيل. والراعف طرف الأرنبة
وأنف الجبل.
الراعف adalaha darah yang keluar dari hidung. Seorang laki-laki sudah
mimisan. Dengan mendhommahkan ro adalah bahasa yang lemah. الراعف adalah kuda yang mendahului kuda lain. والراعف juga berarti mata kelinci dan puncak gunung.
4.
Dalam Lisanul Arab karangan Ibn Manzhur
الرعف
السبق ورعفه يرعفه رعفا سبقه. والرعاف دم يسبق من الأنف. رعف يرعُف رعفا ورعافا.
ورُعف وعف، قال الأزهري ولم يعرف رعف ولارعف في فعل الرعاف. قال الجوهري رعف بالضم
لغة فيه ضعيفة. والراعف الفرس الذي يتقدم الخيل. والراعف طرف الأرنبة. والراعف أنف
الجبل.
الرعف adalah melewati, ورعفه يرعفه artinya adalah melewatinya. الرعاف adalah darah yang lewat dari hidung. رعف fiil madhi, يرعُف fiil mudhari’, رعفا ورعافا mashdarnya. Azhari mengatakan رعف dengan mendhommahkanny adalah bahasa lemah. الراعف adalah kuda yang mendahuli kuda lain, juga berarti mata kelinci
dan puncak gunung.
5.
Dalam Qamus al Muhith karangan Alfairuz Abadi
رعف
كنصر ومنع وكرم و سمعع خرج من أنفه الدم رعفا ورعافا كغراب. والرعاف أيضا الدم
بعينه. ورعف الفرس كمنع ونصر سبق والراعف طرف الأرنبة وأنف الجبل والفرس يتقدم
الخيل.
رعف
seperti menolong, melarang, memuliakan, mendengar, keluar dari hidungnya darah.
رعفا ورعافا seperti كغراب burung gagak. الرعاف
darah itu sendiri. ورعف
الفرس searti dengan mencegah, menolog, mendahului, طرف الأرنبة mata kelinci , أنف الجبل puncak gunung, kuda yang mendahului kuda
lain.
Kalau kita
perhatikan teks-teks diatas kita temukan persamaan yang sangat mencolok diatara
mu’jam-mu’jam diatas. Kata الرعاف
menurut mereka adalah darah yang keluar dari hidung, tidak ada diantara mereka
yang mengungkapkan dengan يسيل
من الأنف (mengalir dari hidung), الراعف menurut mereka adalah الفرس يتقدم الخيل kuda yang mendahului kuda lain. Tidak ada
diantara mereka yang mengatakan يسبقها
. demikian juga أنف
الجبل tidak ada diantara mereka
yang menjelaskannya dengan
البارز في مقدمة الجبل الجزء
)bagian yang tampak pada puncak gunung) .
Dari hal kita
melihat bahwa kembali ke mu’jam klasik tidak banyak terlihat disana pembahasan
dilalah lafaz dan perkembangan dilalah. Bagi orang yang ingin mendalami tentang
dilalah lafaz hendaknya ia melihat ke teks-teks sastra klasik.[11]
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Dalam hal kaitan antara lafaz dan makna, ada tiga pandangan yang
masing-masing menjelaskan perihal apakah lafaz dan makna mempunyai keterkaitan,
ketiga pandangan tersebut sama-sama menjelaskan bahwa antara lafaz dan makna
memiliki keterkaitan yang sangat erat.
2. Kemudian
berkaitan dengan perkembangan mu’jam arab, ini dibagi kepada lima fase,
masing-masing fase ini memiliki kriteria penyusunan kata yang pada akhirnya
menjadi suatu cirri khas kamus (mu’jam) itu sendiri. Selanjutnya mengenai makna kata dalam mu’jam arab, pada
dasarnya semua mu’jam arab itu menjelaskan makna suatu kata dengan menampilkan
lafaz-lafaz lain yang memiliki makna yang sama terhadap kata tersebut, namun
bedanya sebagian kamus menjelaskan makna suatu kata dengan menampilkan berbagai
contoh. Sebagian yang lain hanya menampilkan kata
yang lain yang sama maknanya.
B.
Saran
Dalam pemaparan
makalah ini, penulis sangat mengharapkan saran yang tepat untuk kesempurnaan
makalah ini, baik dari dosen pembimbing maupun dari semua pembaca, sehingga
makalah ini bisa di sempurnakan sesuai dengan apa yang diharapkan.
[2] Ibid, h.
62
[3] Ibid, h.
62-63
[4] Teks asli tulisan Idris Maimun di atas berbunyi :
" إن اللفظ والمعنى متلازمان ، إذ
اللفظ جسمٌ روحهُ المعنى ، ومن ثم كان ما يوصف به أحدهما يعد وصفا للآخر، فإذا وصفت اللفظ بالغرابة أو الابتذال كان ذلك الوصف للمعنى
الجاثم وراءه ؛ وكذلك الشأن في المعنى إن وصف بالوضوح
أو الغموض كان ذلك وصفاً للفظ الذي يعرضه ويجلوه . فليس
اللفظ والمعنى شيئين منفصلين كالكوب وما يكون فيه من شراب ، بل هما مترابطان ترابط الثوب بمادته
Lihat blog
dengan judul al-Ulum, www.Ulum.NL.mimounidris@gmail.com, diakses pada rabu, 9
Januari 2013
[8] Abd al-Qadir
Abu Syarifah, dkk, Ilmu al-Dilalah Wa al-Ma’ajim al-Arabi, (عمان:
Dar al-Fikri, 1989), h. 115
[9] Ibid, h.
115-116
Tidak ada komentar:
Posting Komentar