Selasa, 13 Desember 2016

Peradaban Islam masa daulah abbasiyah

PERADABAN ISLAM MASA DAULAH ABBASIYAH
PERIODE AWAL (132-232 H / 750-847 M)
Oleh : Fauzul Fil Amri

A.          PENDAHULUAN
Pergantian pemimpin di kalangan umat Islam setelah khalifah Usman tidak terlepas dari pertikaian yang tajam hingga melahirkan peperangan. Sepeninggal Ali berdirilah Bani Umayyah sebagai penguasa kaum muslim. Dinasti ini hannya mampu bertahan 90 tahun, sejak tahun 661- 750 M.
Bani Umayyah digulingkan oleh Bani Abbasiyah. Kejayaan Islam mencapai puncaknya pada dinasti ini berkuasa. Sebagaimana yang dikutip oleh Ajid Thohir dari Syed Mahmudunnasr bahwa hasil besar yang dicapai oleh Dinasti Abbasiyah dimungkinkan karena landasannnya telah dipersiapkan oleh Umayyah dan Abbasiyah memanfaatkannya.[1] Meskipun demikian menurut penulis keberhasilan Daulah Abbasiyah juga didukung oleh kecermelangan dan kecerdasan khalifah Bani Abbasiyah itu sendiri. Dinamakan daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Abbas (Bani Abbas), paman nabi Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abu Abbas as-Saffah.[2]
Dalam makalah ini penulis membahas lebih  lanjut kiprah dan peranan dari Bani Abbasiyah periode pertama 132 H/ 750 M- 232 H/847 M dalam peradaban Islam.

B.           Latar belakang berdirinya Daulat Bani Abbasiyah.
1.      Proses Pembentukan Dinasti Abbasiyah
Adapun sebab dia yang disepakati pendiri dinasti Abbasiyah adalah di masanyalah tumbangnya daulah Bani Umayyah. Juga dia sendirilah yang menyatakan tegaknya daulah Bani Abbasiyah di atas reruntuhan daulah Bani Umayyah. Namun jauh sebelum Abu Abbas sudah dikenal beberapa pelopor tegaknya Daulah Bani Abbasiyah yang dimulai dari gerakan bawah tanah bani Hasyim dipimpin oleh Muhammad al Hanafiyah putra Ali ibn Abi Thalib dengan putrid al Hanafiyah. Setelah Muhammad ibn Hanafiyah wafat digantikan anaknya Abu Hasyim ibn Muhammad al Hanafiyah.
Sulaiman ibn Abdul Malik (Bani Umaiyah) secara diam-diam ia diracuni melalui pelayan istana Bani Umaiyyah sehingga Sulaiman sakit dan kemudian meninggal dunia.
Sebelum meninggal Abu Hasyim memberikan pimpinan gerakan oposisi kepada Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas. Dengan demikian terjadilah perpindahan pemimpin oposisi dari tangan Alawiyin (Syiah) kepada Bani Abbas. Pengangkatan Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas didasari atas pertimbangan moral dan keluesan hati orang alawiyin (Syiah) terhadap Bani Abbas.[3] Di tangan Muhammad ibn Ali dicanangkan propaganda yang meliputi tiga hal, yaitu : 1) Emamsipasi hak, maksudnya adalah persamaan hak antara keturunan Arab (secara umum) dengan non Arab (Mawali), 2) Rekonsoliasi, maksudnya adalah suatu perdamaian antara non Arab (Mawali) dengan bangsa Arab, 3) Pengembalian kekuasaan kepada ahlul bait. Dengan ketiga propaganda ini, gerakan oposisi mendapat dukungan penuh dari Mawali, sehingga oposisi menjadi kuat.
Setelah Muhammad ibn Ali wafat, ia digantikan oleh adiknya Ibrahim Ibn Muhammad. Ia membelokkan gerkan Bani Hasyim menjadi gerakan Bani Abbas secara diam-diam.
Ia  menyusun kekuatan di Humaymah sebagai pusat perencanaan dan organisasi. Ibrahim akhirnya ditangkap dan dipenjarakan di Harran sebelum dieksekusi, Ia mewasiatkan kepada adiknya Abu al-Abbas untuk menggantikan kedudukannya dan memerintahkannya untuk pindah ke kufah.[4]
Dibawah panglima perangnya yang bernama Abu Muslim al-Khurasani, Abu Abbas berhasil menguasai kota khurasan dan menyusul kemenangan demi kemenangan. Akhirnya negeri Syam sebagai ibu kota Bani Umayyah dapat ditaklukkan. Sejak tahun 132 H/ 750 M Daulah Abbasiyah dinyatakan berdiri dengan khalifah pertamanya Abu Abbas as-Asaffah.[5]
Walaupun Abu Abbas pendiri daulah ini, pemerintahannya singkat (750-754 M). Pembina sebenarnya daulah ini adalah Abu Ja’far al-Mansur. Untuk mengamankan kekuasaanya, tokoh besar sezamannya yang mungkin menjadi pesaingnya satu persatu disingkirkannya.[6] Abdullah ibn ali, Salih ibn Ali (pamannya) dan Abu Muslim al-Khurasani adalah tokoh-tokoh penting, mereka tidak dibiarkan hidup. Dari tindakannya menyingkirkan pejabat-pejabat penting yang berjasa dapat dimaklumi bahwa Abu Ja’far tidak menginginkan ada ganjalan dan rongrongan di awal pemerintahannya.
Pemerintahan yang baru berdiri di atas rezim lama harus kompak dan solid. Bila ada gerakan-gerakan yang bersebrangan harus segera ditindas sebelum menjadi besar. Bahkan tampak sekali ketakutan Ja’far akan hilangnya pengaruhnya, kalau di sekelilingnya terdapat pejabat yang berpengaruh seperti Abu Muslim al-Khurasani. Tokoh satu ini di samping panglima perang yang tangguh juga memiliki tentara yang loyal padanya.
Ditinjau dari proses pembentukannya, sebagaimana yang dikutip oleh Ajid Thohir dari Philip K. Hitti, bahwa Dinasti Abbasiyah didirikan atas dasar-dasar antara lain:
1)            Dasar kesatuan untuk menghadapi perpecahan yang timbul dari dinasti sebelumnya
2)            Dasar universal, tidak berlandaskan atas kesukuan;
3)            Dasar politik dan administrasi menyeluruh, tidak diangkat atas dasar keningratan.
4)            Dasar kesamaan hubungan  dalam hukum bagi setiap masyarakat Islam;
5)            Pemerintah bersifat Muslim moderat, Ras Arab hannyalah dipandang sebagai salah satu bagian di antara ras-ras lain;
6)            Hak memerintah sebagai ahli waris nabi masih tetap di tangan mereka.[7]

2.      Khalifah Bani Abbasiyah periode pertama 132 H-232 H/ 750-847 M
                  Daulah Abbasiyah berlangsung dalam waktu yang panjang. Yakni dari 132 – 656 H (524 H) atau 750 – 1258 (508 M), yang dibagi menjadi 5 periode :
1.      Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama
2.      Periode Kedua (232H/847M – 334H/945M), disebut pengaruh Turki pertama
3.      Periode Ketiga (334H/945M – 447H/1055M), disebut masa kekuasaan Bani Buwaihi
4.      Periode Keempat (447H/1055M – 590H/1194M) disebut masa kekuasaan dinasti Seljuk
5.      Periode kelima (590H/1194M – 656H/1258M), disebut masa kekhalifahan bebas dari pengaruh dinasti.[8]
      Adapun khalifah Bani Abbasiyah pada periode pertama adalah:

a)      Abu Abbas as-Saffah ( 132-137 H/ 750- 754 M
b)      Abu Ja’far al-Mansur 137-159 H/ 754-775 M
c)      Al-Mahdi                    159-169 H/ 775-785 M
d)     Al-Hadi                       169-170 H/ 785-786 M
e)      Harun al –Rasyid        170-194 H/ 786-809 M
f)       Al-Amin                      194-198 H/ 809-813 M
g)       Al-Ma’mun                198-218 H/ 813-833 M
h)       Al-Mu’tasim               218-228 H/ 833-842 M
i)         Al-Wasiq                    228-232 H/ 842-847 M[9]

C.           Kemajuan-Kemajuan Peradaban Islam Masa Daulah Bani Abbasiyah Periode Pertama 132 -232 H/ 750- 847 M

1.      Bidang politik dan pemerintahan
            Pada periode pertama, mencapai mas keemasannya, secara politis khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Masa pemerintahan Abu al Abbas sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Kemudian dilanjutkan oleh Abu Ja’far al Manshur.
            Untuk mengamankan kekuasaannya, tokoh-tokoh pemberontak ditumpasnya, seperti Abdullah ibn Ali dan Shalih ibn Ali keduanya adalah pamannya sendiri, keduanya dibunuh oleh Abu Muslim al Khurasani atas permintaan Abu Ja’far, Abu Muslim al khurasani pun dihukum mati karena dikhawatirkan akan menjadi pesaingnya. Untuk lebih memantapkan pemerintahannya, Ia memindahkan ibu kota Negara dari al Hasyimiyah dekat kufah ke Bagdad dekat ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M.
            Dia mengankat wazir sebagai coordinator departemen, wazir pertama yang diangkat adalah Khalid ibn Barmk dari Balkh Persia. Dia juga membentuk lembaga protocol Negara, sekretaris Negara, dan kepolisian disamping membenahi angkatan bersenjata, juga membentuk lembaga kehakiman Negara dan menambah peranan jawatan pos, disamping mengantar surat, jawatan pos juga menghimpun informasi di daerah dan melporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
            Pada masa Al Manshur, pengertian khlaifah diubah, Ia berkata “Innama ana sulthan Allah fi ardhi” (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di Bumi-Nya). Disamping itu mereka juga memakai “gelar tahta”.[10]
2.      Bidang Ekonomi dan perdagangan
            Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian, melalui irigasi. Daerah-daerah pertanian diperluas di segenap wilayah Negara, Bendungan dan kanal-kanl digali agar semua lahan pertanian bisa dilairi air, dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, dan besi. Juga perdagangan transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Basrhrah menjadi pelabuhan yang penting.[11] Kota Basrah merupakan kota pelabuhan yang ramai disinggahi oleh kapal-kapal dagang dari timur dan barat. Kota pelabuhan ini membawa kemajuan bagi perdagangan yang memperoleh penghasilan besar. Dalam bidang perindustrian, Bani Abbas telah membangun pabrik sabun di Basrah, Bagdad dan Samarra. Di samping itu dibangun pabrik kertas, sutra dan sebagainya. Kemudian dibuka pertambangan, seperti perak, emas, tembaga, besi dan sebagainya.[12]
            Devisa Negara penuh berlimpah-limpah. Khalifah al-Mansur merupakan tokoh ekonomi Abbasiyah yang telah mampu meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam bidang ekonomi dan keuangan Negara.
            Di sektor perdagangan, kota Bagdad di samping sebagai kota politik, agama dan kebudayaan, juga merupakan kota perdagangan yang terbesar di dunia saat itu. Sedangkan  kota Damaskus merupakan kota ke dua. Sungai Tigris dan Efrat mejadi pelabuhan trasmisi bagi kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru dunia. Terjadinya kontak perdagangan internasional ini semenjak khalifah al-Mansur. [13]Pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid kekayaan Negara telah melimpah ruah. Pada masa ini kekayaan Negara sekitar 42 milyar dinar. Ini belum termasuk uang yang berasal dari pajak hasil bumi. Jumlah di atas merupakan hal yang luar biasa pada masa itu. Pengeluaran uang Negara digunakan untuk kemaslahatan Negara, seperti untuk kepentingan sosial, membayar gaji para hakim, gaji para pejabat pemerintah, gaji pegawai Baitul Mal, gaji tentara, mendirikan rumah sakit, biaya pendidikan, gaji dokter dan apoteker serta pendirian pemandian-pemadian umum.[14] Selain itu juga dikeluarkan untuk membiayai pengerukan sungai-sungai, pembuatan irigasi, pengolahan lahan pertanian, biaya orang tahanan dan tawanan serta honor para ulama dan satrawan.

3.      Bidang sosial
            Bani Abbasiyah mempelopori penghapusan diskriminatif masyarakat, yang membedakan antara Arab dan Non Arab. Masa Bani Umayyah akses bagi Non Arab dalam pemerintahan tidak pernah tercapai. Daulah Bani Abbasiyah malah memberi peluang kepada non Arab untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan. Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah membuka pintu bagi  bangsa Persia untuk duduk dalam pemerintahan. Karenanya periode awal Abbasiyah  ini dikenal dengan  periode pengaruh Persia pertama.[15] Kebijakan dalam sosial ini adalah salah satu kelebihan Bani Abbasiyah dari pada Bani Umayyah. Di masa Bani Umayyah, sebagian besar golongan Mawali ( non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian Timur lainnya, merasa tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa itu.[16]

4.       Bidang pendidikan / Ilmu pengetahuan
            Ilmu pengetahuan sangat berkembang pada masa Bani Abbas. Ada dua kelompok ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa Bani Abbas, yaitu ilmu Naqliah dan ilmu aqliyah.[17] Di antara ilmu-ilmu naqliyah yang maju perkembangannya pada masa ini adalah sebagai berikut:

a)      Ilmu Tafsir
               Pada masa ini muncul dua aliran dalam ilmu tafsir, yaitu aliran Tafsir bil Ma’tsur dan Tafsir bir Ra’yi. Aliran pertama lebih menekankan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits dan pendapat tokoh-tokoh sahabat. Diantara tafsir bil ma’sur yang pada waktu itu adalah :
1)      Tafsir al- Thobary oleh Ibn Jarir al-Thobary
2)      Tafsir Ibn Athiyah al-Andalusi oleh Abu Muhammad ibn Athiyah
3)      Tafsir al-Sud yang mendasarkan tafsirnya pada Ibn Abbas dan Ibn Mas’ud.
Sedangkan aliran tafsir yang ke dua lebih banyak berpijak pada logika (rasio) dari pada nash.[18] Diantara tafsir birra’yi yang ada pada masa itu adalah:
1)      Tafsir Abu Bakar Asma (Mu’tazilah)
2)      Tafsir ar-Razi
Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkembangan ilmu tafsir  sampai saat ini tidak lepas dari ke dua aliran ini.
b)           Ilmu Hadits
                    Pada masa ini muncul ulama-ulama hadits  yang belum ada tandingannya sampai zaman sekarang. Di antara yang terkenal ialah Imam Bukhari (w. 256). Imam Muslim (w. 251 H) terkenal sebagai seorang ulama hadits dengan bukunya Shahih Muslim.[19]
c)            Ilmu Fiqh
Pada masa ini lahir fuqaha legendaris yang kita kenal, seperti Imam Abu Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Syafei (767- 820 M) dan Imam Ahmad Ibnu  Hambal ( 780-855).[20]
d)           Ilmu Kalam
Pada periode pertama Abbasiyah ini terjadi pembauran umat  muslim Arab dengan bangsa –bangsa yang telah tinggi peradabannya., seperti di Iskandariyah Mesir, di Yundisafur dan sebagainya. Oleh karena itu, ulama-ulama dituntut agar dapat memberi keterangan dan penafsiran agama yang sesuai dengan tingkat kecerdasan dan peradaban bangsa-bangsa tersebut. Lahirlah beberapa ulama dari golongan  Mu’tazilah, yang lebih meninggikan akal (rasio), seperti Washil bin Atha’ (81-131 H), Abu Huzhail (135-235 H) dan al-Nazham ( 185-221 H).[21]
Kontribusi ilmu pengetahuan terlihat pada upaya Harun ar-Rasyid dan al-Makmun ketika mendirikan sebuah akademi pertama dilengkapi pusat peneropongan bintang, perpustakaan terbesar dan dilengkapi dengan lembaga untuk penerjemahan.[22] Kita mengenal Baitul Hikmah sebuah tempat kajian ilmu pengetahuan. Bani Abbasiyah periode awal ini memiliki andil yang besar dalam peradaban Islam dan dunia umumnya. Karena banyak perobahan dan kemajuan yang dicapainya. Sebelum dinasti Abbasiyah, pusat kegiatan Dunia Islam bermuara pada masjid. Masjid dijadikan centre of education. Pada dinasti Abbasiyah inilah mulai adanya pengembangan keilmuan dan tekhnologi diarahkan ke ma’had. Lembaga ini kita kenal ada dua tingkatanoyaitu:
1)      Maktab /kutab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, menghitung dan menulis serta anak remaja belajar dasar-dasar ilmu agama
2)      Tingkat pedalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi ke luar daerah atau ke masjid-masjid bahkan ke rumah-rumah gurunya.[23]
  Dengan dua model dua di atas system pendidikan di masa Bani Abbasiyah periode pertama telah melahirkan ulama di kalangan ilmu Hadits, Fiqh dan ilmu kalam. Ulama yang dilahirkan tersebut sampai saat ini menjadi hujjah bagi seluruh umat muslim, seperti imam mazhab yang empat serta Ahli hadits Bukhari dan Muslim.
Sementara dalam ilmu Aqliyah dapat kita lihat dalam kemajuan ilmu tekhnologi (sains) . Sesungguhnya kemajuan telah direkayasa oleh ilmuwan Muslim. Di antara Kemajuan tersebut adalah sebagai berikut:
1)            Astronomi, ilmu ini melalui karya India Sindhind kemudian diterjemahkan oleh  Muhammad Ibnu Ibrahim al-Farazi  ia adalah astronom Muslim  pertama yang membuat astrolabe, yaitu alat untuk mengukur ketinggian bintang. Di samping itu, masih ada ilmuwan-ilmuwan Islam lainnya, seperti Ali Ibnu Isa al- Asturlabi, al- Farghani, al-Battani, Umar al- Khayyam dan al- Tusi.[24]
2)            Kedokteran, pada masa ini dokter pertama yang terkenal adalah Ali Ibnu Rabban al-Tabari. Pada tahun 850 ia mengarang  buku Fidaus al-Hikmah. Tokoh lainnya adalah al-Razi, al-Farabi dan Ibnu Sina.[25]
3)            Ilmu kimia. Bapak ilmu kimia Islam adalah Jabir Ibnu Hayyan (721-815 M).[26]
4)            Sejarah dan geografi. Pada masa Abbasiyah sejarawan ternama abad ke-3 H adalah Ahmad bin al-Yakubi, Abu Ja’far Muhammad bin Jafar bin Jarir al-Tabari. Kemudian, ahli ilmu bumi yang termasyhur adalah ibnu Khurdazabah (820-913 M).
e)            Filsafat
      Khalifah Harun al-Rasyid dan al-Makmun adalah khalifah-khalifah Bani Abbasiyah yang amat tertarik dengan filsafat,  terutama filsafat Aristoteles dan Plato. Oleh karena itu, tidaklah terlalu mengherankan apabila pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah muncul beberapa orang filosuf Islam. Di antaranya adalah Al-Kindi (796 -873 M.
f)             Pemahaman Agama
               Periode pertama Abbasiyah ini terlihat para khalifahnya condong pada paham mu’tazilah. Sehingga pada masa Khalifah Al-Makmun, mu’tazilah diakui sebagai mazhab resmi pemerintah.[27] Namun Syi’ah. Khawarij dan Murji’ah masih tetap ada tetapi tidak kuat lagi.

g)            Seni/Arsitektur
Di antara khalifah Bani Abbasiyah yang mencintai kesenian adalah Harun ar-Rasyid. Beliau menyukai syair-syair. Di antara penyair di masa ini yang terkenal adalah Abu Nawas, yang pada dasarnya seorang ahli hikmah.[28]
Khalifah –khalifah Bani Abbasiyah juga menyukai seni arsitektur. Dengan kemenangan demi kemenangan yang dicapai khalifah sebelum ar-Rasyid dan al-Makmun , sehingga makmurlah Negara serta stabilitas politik yang stabil. Khalifah Harun dan para pembesar Negara menimati kemewahan itu dengan hidup di istana-istana yang indah, seperti istana al-Khuld yang diambil dari nama Jamalul Khuld yang diterangkan dalam al-Quran surat al-Furqan: 15. Istana as-Salam yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’an surat al-An’am: 127, yakni Darussalam.[29] Dengan nama-nama itu mereka ingin mewujudkan surga di bumi ini. Memang demikianlah sifat penguasa jika kekayaan Negara melimpah dan stabilitas politik aman, hasrat untuk hidup bersenang-senang akan timbul dengan sendirinya. Hal ini kadangkala membuat penguasa melupakan memperkuat sistem militernya.










PENUTUP
A.                Kesimpulan
1.         Dinamakan daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Abbas (Bani Abbas), paman nabi Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abu Abbas as-Saffah
2.         Abbasiyah periode awal ini berkuasa dari tahun 132 H/ 750 M- 232 H/847 M
3.         Khalifah Abbasiyah periode pertama adalah
a)            Abu Abbas as-Saffah            132-137 H/ 750- 754 M
b)            Abu Ja’far al-Mansur             137-159 H/ 754-775 M
c)            Al-Mahdi                               159-169 H/ 775-785 M
d)           Al-Hadi                                 169-170 H/ 785-786 M
e)            Harun ar –Rasyid                  170-194 H/ 786-809 M
f)             Al-Amin                                194-198 H/ 809-813 M
g)            Al-Ma’mun                            198-218 H/ 813-833 M
h)            Al-Mu’tasim                          218-228 H/ 833-842 M
i)               Al-Wasiq                              228-232 H/ 842-847 M
4.         Kemajuan-kemajuan yang dicapai pada masa Dinasti Abbasiyah. Kemajuan meliputi berbagai bidang, seperti politik dan pemerintahan, ekonomi perdagangan, pendidikan, sosial dan keagamamaan.
B.                 Saran
     Dalam membuat makalah ini penulis menyadari terdapat banyak kekurangan, oleh sebab itu saran dan masukan dari pembaca sangat penulis harapkan sebagai pertimbangan dan wawasan untuk pembuatan makalah pada masa yang akan datang.




[1] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h.44.
[2] Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Intermasa, 1994), h.4
[3] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam II, (Padang : IAIN IB Pres, 2002), h.2-4
[4] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997), h.88
[5] Ensiklopedi Islam, op.cit, h.4
[6] Ibid., h.5
[7] Ajid Thohir, op.cit., h. 44
[8] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2010), h.50
[9] Ensiklopedi Islam., op.cit., h.5
[10] Badri Yatim, h.52
[11] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta: PT Raja Grafindo, 1993), h. 52
[12] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI- Press, 1985), h. 68
[13] Ajid, Rosidi., op.cit., h. 55
[14]  Maidir Harun, Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2002), h.17
[15]  Badri Yatim., op.cit., h.49, h.49
[16]  W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam; Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara  Wanaca Yogya, 1990), h.28
[17]  Maidir Harun, Firdaus, op.cit. h. 19
[18] Ibid., 20
[19] Ibid.,21
[20] Ajid Thohir, op.cit., h.51
[21] Maidir Harun, Firdaus, op.cit., h22
[22] Ajid Thohir, op.cit., h.50
[23] Hassan Ibrahim Hassan, Tarekh Al-Islam II, (Kairo: Maktabah al-Nahdhoh al-Misriyah, 1965), h. 129
[24] A. Hasymy, op.cit., h.212
[25] A. Raziq Naufal, Umat Islam dan Sains Modern, ( Bandung: Husaini,1978), h. 47
[26]  Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta: UI Press, 1985), h.62
[27] Maidir Harun, Firdaus, loc.cit., 22
[28] Abu, Su’ud, op.cit., h.78
[29] Ali Mufrodi, op.cit, h. 94

Tidak ada komentar:

Posting Komentar